Ilmu tidak untuk di Banding-bandingkan dan di kompetisikan tp Ilmu untuk dishare dan diamalkan deng

Sabtu, 27 Maret 2010

Sabtu, 13 Maret 2010

HUKUM SUMPAH BAGI ORANG YANG MELIHAT HILAL KURANG DARI DUA DERAJAT
I. PENDAHULUAN
Dalam terminologi hukum Islam, Ijtihad adalah sebuah usaha sungguh-sungguh para Ulama’ dengan menggunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum ditetapkan secara Qath’I ( pasti) didalam Al-qur’an dan Sunnah . Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga setelah Al-qur’an dan sunnah. Kesaksian melihat hilal (ru’yah al-hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadlan dan hari raya oleh pemimpin umat ,semuanya adalah ijtihad. Kebenaran hasil ijtihad adalah relatife, sedangkan kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil Syari’ah dan bukti empirik yang diperoleh.
Kesaksian ru’yah tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa saja salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya obyek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya , karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran Ru’yah Al-hilal hanya kepercayaan pada pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulangi oleh orang lain.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang kesaksian orang yang menyaksikan hilal, terutama yang terkait dengan sumpah dari orang yang melihat hilal kurang dari dua derajat, dimana dua derajat merupakan standar minimal yang ditetapkan oleh sebagian ulama’. Apakah kesaksian seperti itu bisa diterima atau tidak, selengkapnya hal tersebut akan dibahas dalam bab pembahasan.

II. PEMBAHASAN
A. DEFINISI SUMPAH
Dalam bahasa arab sumpah disebut dengan Al-ayman, Al-half, Al-Ila’, dan Al-qasam. Disebut Al-ayman (jamak dari al-yamin:tangan kanan) karena orang-orang arab dizaman jahiliyah bila mereka bersumpah satu sama lain saling berpegangan tangan kanan. Kata Al-yamin secara etimologis dikaitkan dengan tangan kanan, al-quwwah (kekuatan), dan Al-qasam(sumpah). Dikaitkan dengan kata Al-quwwah karena orang yang ingin mengatakan sesuatu dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataan itu lebih kuat sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari pada tangan kiri .

Menurut syara’ sumpah adalah mentahqiqkan sesuatu atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah atau dengan salah satu sifatnya. Sedangkan Secara terminologis, sumpah memiliki beberapa arti :
1.) Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi pada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan.
2.) Pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan tersebut tidak benar.
3.) Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Bersumpah untuk suatu kepentingan tertentu disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah :225
              
” Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
B. HUKUM SUMPAH

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum sumpah, diantaranya:- Madzhab maliki, mengatakan: ”Hukum asal dari sumpah adalah jaiz. Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan sesuatu masalah keagamaan atau untuk mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan agama atau larangan yang dilarang agama. Jika hukum sumpah itu dihukumi mubah, maka melanggarnya pun mubah tetapi harus membayar kaffarat (denda) kecuali jika melakukan pelanggaran sumpah itu lebih baik. Madzhab Hanbali:”Hukum sumpah tergantung keadaanya, bisa wajib, haram, makruh ,sunnah atau mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan maka sumpah hukumnya wajib. Madzhab Syafi’i: ”Hukum sumpah asalnya makruh. Tapi bisa saja sumpah hukumnya sunnah(mandub), wajib, haram, atau mubah tergantung pada keadaanya. Madzhab hanafi:”Asal hukumnya jaiz tapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah.

C. MACAM-MACAM SUMPAH
a. Yamin al-laghwu, yaitu sumpah yang diucapkan tanpa ada niat untuk bersumpah. Pelanggaran atas sumpah ini tidak berdosa dan tidak wajib membayar kaffarat.
b. Yamin al-muaqqidah, yaitu sumpah yang memang diniatkan untuk bersumpah. Sumpah semacam ini wajib dilaksanakan , jika dilanggar harus bayar kaffarat.
c. Yamin al-ghamus, yaitu sumpah dusta yang mengakibatkan hak-hak orang tak terlindungi atau sumpah yang dimaksudkan untuk berbuat fasiq dan khianat. Sumpah semacam ini termasuk salah satu bentuk dosa besar.
Menurut Sayyid Sabiq, pelanggaran sumpah ini pelakunya tidak wajib membayar kaffarat, tetapi wajib bertaubat. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad Ibn Hanbal, pelaku pelanggaran sumpah ini wajib membayar kaffarat.
Adapun Syarat-syarat sumpah, diantaranya harus memenuhi empat hal berikut ini : 1.)Menyebut nama Allah atau salah satu sifatnya 2.) mukallaf 3.) tidak karena terpaksa 4.) sengaja (niat untuk bersumpah). Sedangkan kaffarat terhadap pelanggaran sumpah :- memerdekakan budak, -memberi makan 10 orang fakir miskin (per orang 1 mud:3/4 liter),-memberi pakaian 10 orang fakir miskin (per orang 1 lembar). Jika ketiga kaffarat diatas tak ada satupun yang sanggup dilakukan, maka ia boleh menggantinya dengan puasa 3 hari.

D. KESAKSIAN HILAL MENURUT PENDAPAT BEBERAPA ULAMA
Tentang Ru’yah Al-hilal, para ahli fiqih berbeda pendapat:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa cukupnya persaksian seorang yang adil. Hal ini berdasar pada hadits Ibnu umar. Ia berkata: ”Orang-orang berusaha melihat hilal. Maka aku menceritakan pada nabi bahwa aku melihatnya, dan rasul SAW pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa . Para Ulama berkata, Penetapan dengan dasar keadilan seorang laki-laki lebih hati-hati untuk memulai ibadah.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa syarat ru’yah harus dilakukan oleh dua orang yang adil . Hal ini berdasar pada riwayat al-husain bin harits al-hadhly. Ia berkata: kami berbincang dengan gubernur makkah, al-harits bin Hatib. Ia berkata pada kami, Rasul SAW memerintah kita untuk ibadah puasa karena melihat hilal. Jika kita tidak melihatnya, namun ada dua orang adil yang bersaksi bahwa mereka menyaksikannya, kita berpuasa karena kesaksianya.
3. Persaksian yang mensyaratkan sekelompok masyarakat, mereka adalah pengikut hanafi, yakni pada saat terang benderang. Adapun mengenai jumlah orang banyak, hal ini dikembalikan kepada pendapat imam atau hakim, tanpa menentukan jumlah tertentu.
Berikut adalah pendapat beberapa madzhab terkait dengan kriteria kesaksian hilal:
a. Madzhab Hanafi
Jika langit bersih dari hal-hal yang menghalangi penglihatan maka haruslah dengan penglihatan yang pemberitahuan mereka memberikan keyakinan . Kriteria banyak diserahkan oleh pendapat Imam. Jika langit tidak bersih dari penghalang maka kesaksian satu orang yang menyatakan telah melihat hilal bisa dipegangi bila ia seorang muslim, adil, berakal dan baligh. Tidak ada perbedaan antara kesaksian laki-laki dan perempuan, merdeka atau budak.
Jika hilal dilihat oleh satu orang yang tergolong syah kesaksianya kemudian ia mengabarkan kepada satu orang lain yang juga syah kesaksianya , maka hakim boleh mengambil kesaksian dari orang yang mendapat kabar tersebut. Wajib atas orang yang melihat hilal itu untuk bersaksi didepan hakim jika ia dikota dan jika ia tinggal didesa maka wajib baginya bersaksi dihadapan orang banyak dimasjid.
b. Madzhab Syafi’I
Ramadlan ditetapkan berdasarkan penglihatan orang yang adil, baik langit cerah maupun tidak. Orang yang memberi kesaksian disyaratkan Muslim, berakal, baligh ,merdeka, laki-laki dan adil sekalipun secara lahiriyah. Tidak wajib berpuasa atas keseluruhan orang kecuali bila hakim menerima kesaksian itu dan mengesahkanya. Wajib atas orang yang melihat hilal itu sendiri untuk berpuasa walaupun Ia tidak memberi kesaksian dihadapan hakim atau Ia memberi kesaksian tetapi hakim tidak menerimanya.
c. Madzhab Maliki
Hilal Ramadlan ditetapkan berdasarkan penglihatan , penglihatan tersebut terdiri dari tiga macam:
Pertama, penglihatan oleh dua orang yang adil yaitu laki-laki, merdeka ,baligh, berakal, tidak melakukan dosa besar, tidak sering melakukan dosa kecil dan juga tidak mengerjakan hal-hal yang bisa merusak wibawa.
Kedua, Penglihatan oleh orang banyak yang pemberitahuanya memberikan keyakinan dan mustahil mereka berbuat dusta.
Ketiga, Penglihatan oleh satu orang, namun ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri, atau orang yang dikabari yang orang itu tidak mempunyai perhatian terhadap masalah hilal ,jika ia memiliki perhatian maka tidak berlaku atasnya kesaksian satu orang.

d. Madzhab Hanbali
Menetapkan terlihatnya hilal Ramadlan harus dengan kabar orang mukallaf yang adil secara lahir dan bathin. Menurut Abu bakar-ahli fiqh dari kalangan madzhab hanbali-mengatakan:”jika seseorang melihat hilal ditempat yang ramai (jama’ah/semua masyarakat umum bisa melihat) maka harus disaksikan dua orang, tetapi bila dalam keadaan safar(bepergian), maka kesaksian oleh satu orang bisa diterima. Mengenai kesaksian seorang wanita, ada 2 pendapat:
-Kesaksian wanita bisa diterima, karena hal itu termasuk khabar keagamaan .
-Kesaksian satu wanita tidak bisa diterima, bila terdapat seorang laki-laki. Karena Ia termasuk saksi far’u, dan asal dari kesaksian adalah saksi ashl.
Wajib puasa atas orang yang mendengar seorang adil yang mengabari terlihatnya hilal Ramadlan, walaupun hakim menolak kabarnya karena tidak mengetahui kabarnya. Orang yang melihat hilal tidak wajib pergi kepada hakim, masjid, sebagaimana tidak wajib pula atas nya untuk mengabari atas orang-orang.
Dalam upaya mewujudkan terciptanya persatuan, pendapat Hanafi lah yang lebih cocok untuk digunakan. Mengenai keberlakuan ru’yah, Jumhur ulama’ kecuali Syafi’I sepakat bahwa jika adanya hilal telah dapat diakui salah satu wilayah. Maka wajib puasa atas seluruh penduduk wilayah tersebut.

Bertitik tolak pada kenyataan bahwa sulitnya pelaksanaan ru’yah dan beragamnya penetapan hilal dengan ru’yah ,maka tidak semua ru’yah dapat dijadikan pedoman dalam penetapan bulan. Perbedaan dikalangan ahli ru’yah sendiri, antara lain adalah kesaksian mana yang dapat diterima, apakah harus disumpah, berapa batas minimal orang yang melihat hilal, apakah hasil hilal harus didukung oleh hisab sehingga jika hasil nya bertentangan dengan hasil hisab maka harus ditolak . Untuk dapat dijadikan sebagai pedoman harus memenuhi syarat-syarat ,yaitu:
1. Hilal disaksikan oleh orang yang memenuhi syarat melakukan ru’yah, minimal harus adil dan Islam.
2. Penetapan awal bulan Ramadlan minimal harus ada seorang saksi dan Untuk awal syawal minimal harus dengan dua orang saksi.
Para fuqaha berselisih pendapat bahwa diperbolehkan berbuka ketika hilal hanya dipersaksikan oleh satu orang. Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa tidak boleh berbuka. Dan Imam Malik mengatakan : barang siapa berbuka ,sedang ia melihat bulan sendirian , maka wajib atasnya menqadla’ puasanya dan membayar kaffarat. Sedangkan Abu Hanifah hanya mewajibkan menqadla’ puasanya saja. Fuqaha berselisih pendapat tentang bilangan dan sifat pembawa berita yang memungkinkan diterimanya pemberitaan mereka tentang ru’yah. Imam Malik berpendapat bahwa tidak boleh berpuasa atau berbuka dengan persaksian kurang dari dua orang saksi yang adil. Sedang Imam syafi’I mengatakan boleh berpuasa berdasarkan persaksian seorang laki-laki atas ru’yah tetapi tidak boleh diakhiri puasa berdasarkan persaksian kurang dari dua orang laki-laki. Imam Abu Hanifah berkata: bila langit tertutup awan maka persaksian seorang laki-laki dapat diterima. Tetapi jika langit cerah dikota besar maka hanya persaksian orang banyaklah yang dapat diterima .
Alasan fuqaha yang memisah-misahkan antara hilal puasa dan berbuka , maka hal itu didasarkan pada Saadz Al-Dzari’ah ( yakni penyumbatan jalan yang mengarah kepada kerusakan ), agar orang-orang fasiq tidak mengaku-ngaku telah melihat hilal, kemudian mereka berbuka, padahal mereka belum melihatnya. Oleh karena itu Imam syafi’I mengatakan jika orang yang mengaku melihat hilal khawatir terkena tuduhan, hendaklah ia menahan untuk berbuka ,tetapi Ia menganggap dirinya telah berbuka.
3. Keadaan langit harus bersih dari hal-hal yang dapat menghalangi terlihatnya hilal karena ru’yah hanya dilakukan dalam keadaan langit bersih atau cerah.
4. Keterangan saksi, meskipun sederhana tapi harus meyakinkan seperti arah dan bentuk hilal.
5. Adanya dukungan hisab.
Jika hisab ingin dijadikan penentu, maka akan timbul perselisihan dikalangan ulama sendiri, khususnya dari kalangan syafi’iyah, karena kalangan malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah tidak dapat menerima hisab secara mutlak, baik untuk perorangan maupun dalam lingkup umum bagi seluruh umat Islam. Imam Subky, Abbady, dan qalyubi mewakili pendapat yang mendukung tuntutan hisab. Imam subki (w. 756H) mengatakan: jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin, maka kesaksian tersebut ditolak, sebab hisab mempunyai nilai Qath’I , sedang nilai persaksian hanya merupakan persangkaan kuat dan persangkaan kuat tidak dapat mengalahkan sesuatu yang memiliki nilai pasti. Syarat bukti adalah jika persaksian nya mungkin secara indrawi, logika, dan syariat.
Qalyubi menambahkan, pendapat imam subki tersebut sangat jelas, dan menolaknya adalah suatu kesombongan. (Mu’anadah mukbarah). Namun, pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama yang dimotori oleh Imam Ramli, dan Al-khatib syarbini : Menurut pendapat yang mu’tamad ( yang harus dijadikan pegangan), Syahadahlah yang harus diterima, karena hisab telah diabaikan oleh syari’at. Menanggapi pendapat tersebut, Imam Ibnu hajar memberikan jalan tengah dengan penjelasan sebagai berikut: Syahadah dapat ditolak jika semua ahli hisab sepakat, Namun jika tidak terjadi kesepakatan maka syahadah tidak dapat ditolak. Al hafidz Ibnul hajar menambahkan “untuk diterimanya hasil ru’yah bergantung pada kejujuran orang yang melakukannya dan kami tidak berani meyakini kejujurannya, sebelum ia bersumpah. Kalau ia tidak berani atau tidak mau disumpah maka kesaksiannya tidak dapat diterima” .
E. Kriteria visibilitas Hilal
Penentuan kriteria penampakan hilal sudah lama dilakukan ,sejak zaman Babilonia . Menurut mereka berdasarkan pengamatanya selama bertahun-tahun hilal mulai dapat dilihat setelah umur bulan lebih dari 24 jam setelah konjungsi (Ijtima’). Dalam hal ini ulama’pun berbeda pendapat ,Ulama’ Mutaqaddimin mengatakan bahwa kriteria minimal Irtifa’ (tinggi hilal) harus mencapai 9 derajat ,namun ada yang mengatakan irtifa’ mencapai 7 atau sedikitnya 6 derajat. Adapun ulama Mutaakhirin mereka memungkinkan dari dua derajat atau lebih dari dua derajat, sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syekh Mahmud.
Dalam kitab Fath Al-Rauf Manan, sebagaimana yang dikutip oleh Izzudin diterangkan : jika kurang kriterianya sedikit saja, hilal sulit untuk diru’yah. Abdul jalil bin Abdul Hamid pengarang kitab tersebut mengatakan , Para Ulama berbeda pendapat tentang batas ru’yah. Sebagian menetapkan apabila cahayanya sebesar 1/5 jari ( 12 menit jari) sedangkan busur mukutsnya 3 derajat, sebagian menetapkan tingginya 6 derajat. Pendapat lain juga mengatakan bahwa hilal akan dapat dilihat bila busur mukutsnya lebih 11 derajat.
Melihat fenomena tersebut, bisa disimpulkan bahwa masalah Imkan Al-ru’yah (kemungkinan hilal bisa dilihat) sudah muncul sejak perkembangan Ilmu Hisab, yakni sekitar tahun 1800 an Masehi.
Berdasarkan data yang ada, dalam hal ini DEPAG menggunakan kriteria tinggi hilal minimum 2 derajat diatas ufuk Mar’I sebagai patokan awal bulan. Kriteria inipun juga tidak selalu diikuti karena meskipun tinggi hilal kurang dari dua derajat, tetapi kalau ada laporan keberhasilan ru’yah yang syah maka laporan tersebut akan dijadikan patokan untuk penetapan awal bulan. Seperti apa yang terjadi pada tanggal 1 oktober 1970, DEPAG menerima laporan bahwa hilal dapat dilihat sehingga menetapkan 1 Ramadlan 1390 H jatuh pada 31 oktober 1970 dimana berdasarkan hisab ketinggian hilal pada saat matahari terbenam adalah 0 13’ 34” dan jarak sudut antara bulan dan matahari 0 7’ 39” ,jadi posisi hilal diatas ufuk masih dibawah 2 derajat.
Namun, perlu diketahui bahwa mengingat pentingnya kriteria Imkan Al-Ru’yah tersebut , maka pemerintah dalam hal ini DEPARTEMEN AGAMA merasa memberikan solusi alternatif dengan menawarkan kriteria yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini juga didorong oleh keputusan Musyawarah Kerja Hisab Ru’yah tahun 1997/ 1998 di Ciawi Bogor yang meminta diadakan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang Imkan Al-ru’yah. Oleh karena itu ,pada bulan maret 1998 dilakukan pertemuan dan musyawarah para ahli hisab dari berbagai ormas Islam , yang juga diikuti oleh ahli astronomi dan instansi terkait. Dan pertemuan itu menghasilkan keputusan:
1. Penentuan awal bulan Qamariyah didasarkan pada Imkan Al-ru’yah, sekalipun tidak ada laporan ru’yah Al-hilal.
2. Imkan Al-ru’yah yang dimaksud didasarkan pada tinggi hilal 2 derajat dan umur bulan 8 jam dari saat Ijtima’saat matahari terbenam .
3. Ketinggian yang dimaksud berdasarkan hasil perhitungan sistem hisab Haqiqi Tahqiqi.
4. Laporan Ru’yah hilal yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak.
Dari keputusan tersebut , ada satu keputusan yang (terkesan ) tidak tegas yakni “Laporan Ru’yah hilal yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak”. Kata “dapat”dalam keputusan ini kiranya tampak tidak memberikan ketegasan tetapi memberikan kelonggaran. Disamping itu, kriteria Imkan Al-rukyah tersebut dasarnya juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (hanya berdasarkan adat kebiasaan.). Oleh karena itu ,harus dicarikan solusi alternatif yakni menemukan kriteria Imkan Al-rukyah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mazhab yang berupaya bagaimana mendapatkan hasil penetapan dimana data hisabnya sesuai dengan pelaksanaan rukyah , sedangkan rukyahnya tepat sasaran sesuai dengan data hisabnya secara ilmiah. Dengan penerapan:
a. Jika menurut data hisab Imkan Al-rukyah sudah dinyatakan mungkin untuk dirukyah tapi praktik dilapangan tidak dapat diru’yah dan hal ini bukan disebabkan mendung atau gangguan cuaca , maka dasar yang dipakai adalah hisab.
b. Jika sudah dinyatakan mungkin untuk diru’yah , tapi praktik dilapangan tidak dapat diru’yah dan hal ini disebabkan mendung atau gangguan cuaca , maka dasar yang dipakai adalah Istikmal.
c. Dan jika dinyatakan tidak mungkin untuk dirukyah maka dasar yang dipakai adalah prinsip rukyah yakni disempurnakan tiga puluh hari (istikmal).
Menurut T. Djamaluddin, kriteria Imkan Al ru’yah yang dipegang oleh DEPARTEMEN AGAMA RI masih perlu direvisi. kriteria Imkan Al ru’yah tersebut, yakni tinggi hilal 2 derajat, jarak dari matahari minimal 3 derajat atau umur bulan saat matahari terbenam minimal 8 jam, harus disempurnakan dalam dua hal: yakni jarak bulan dari matahari semula minimal 3 derajat menjadi 5,6 derajat, kemudian ketinggian hilal minimal tidak lagi seragam selalu 2 derajat tetapi harus memperhatikan beda Azimuth bulan matahari .
Kriteria hisab–rukyah adalah jalan tengah untuk mempersatukan metode hisab rukyah tanpa memaksakan salah satu pihak beralih kepada metode lainnya. Upaya penyatuan kriteria didukung dengan keluarnya fatwa MUI nomor 2 / 2004 tentang penetapan awal Ramadlan, Syawal, dan dzulhijjah. Fatwa MUI menyatakan bahwa penentuan awal Ramadlan, Syawal, dan dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah ( pengamatan hilal, bulan tsabit purnama) dan hisab( perhitungan astronomi) oleh pemerintah dan berlaku secara nasional. Otoritas diberikan kepada pemerintah sebagai “ulil Amri” yang wajib ditaati secara syari’at.
G. KETERLIBATAN IPTEK DALAM PELAKSANAAN RU’YAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SUMPAH
Persoalan hisab ru’yah awal bulan qamariyah pada dasarnya bersumber pada hadits-hadits hisab ru’yah. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna dhahir hadits tersebut sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Pemahaman terhadap makna hadits ada yang menganggap ru’yah itu bersifat ta’abbudi-ghair al-ma’qul ma’na-artinya tidak dapat dirasionalkan sehingga pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan dan hanya terbatas pada melihat dengan mata telanjang. Dipihak lain ada yang memaknai hadits itu bersifat ta’aqquli-ma’qul al-ma’na-yakni dapat dirasionalkan, sehingga dapat diperluas dan dapat dikembangkan (dengan menggunakan alat) . Modernisasi hisab ru’yah kini sudah mulai dilakukan. Walaupun sebagai penentu, ilmu hisab astronomi kini telah diterima sebagian besar ormas Islam sebagai alat bantu. Teleskop pun sekarang sudah tidak lagi diharamkan untuk ru’yah, yang sebelumnya penggunaan kaca matapun dipermasalahkan . Pada prinsipnya ulama tidak berkeberatan atas ikutsertanya iptek dalam proses penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah. Hanya yang harus dipahami adalah syari’ah tidak ingin memberatkan umat, khususnya dalam masalah ibadah.
Ru’yah bil fi’li dengan menggunakan alat (nadzarah)memang belum ada kesepakatan diantara para ulama. Namun demikian, setidaknya ada beberapa pendapat yang dapat diajukan sebagai acuan :
1. pendapat Ibnu Hajar yang menyatakan tidak boleh ru’yah dengan menggunakan alat sebangsa kaca (nahwi mir’atin). (Tuhfatul Muhtaj,3: 382)
2. Pendapat Asy-syarwani yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kaca adalah sebangsa air, ballur (benda yang berwarna putihseperti kaca), dan alat yang mendekatkan yang jauh atau memperbesar yang kecil. Namun, kemudian Asy-syarwani mengemukakan pendapat nya sendiri bahwa walaupun menggunakan alat tetap masih bisa disebut sebagai ru’yah. (Hasyiatus Asysyarwani,3:332)
3. Pendapat yang lebih tegas dikemukakan oleh al-Muthi’i. Ia menyatakan: ru’yah bil fi’li dengan menggunakan alat (nadzarah) tetap dapat diterima karena yang terlihat melalui alat tersebut adalah hilal itu sendiri(’ainul hilal) bukan yang lain. Fungsi alat hanya untuk membantu penglihatan dalam melihat alat yang jauh atau sesuatu yang kecil.
Dalam hal ini, pemikiran Nahdlatul Ulama-yang disebut sebgai madzhab ru’yah-tidak sepenuhnya bersifat ta’abbudi-ghair al-ma’qul ma’na, ini terbukti dari konsep ru’yah mereka, dimana ru’yah tidak harus dengan mata telanjang, tapi diperbolehkan menggunakan alat dan tetap dianggap sah(diterima) dengan syarat alat tersebut untuk memperjelas objek yang dilihat(’ain al-hilal) bukan pantulan, dan sepanjang ahli hisab tidak sepakat bahwa posisi hilal masih berada di bawah ufuk. Pendapat NU ini didasarkan pada pemikiran Imam Bakhit al-Muthi’i dalam kitab Irsyad ahli Milal .
Menanggapi pelaksanaan Ru’yah bil nadzari (menggunakan alat),salah lihat hilal sering terjadi karena kurangnya pengalaman. Ada yang mengira tehnologi ru’yah yang masih tradisional harus diperbaharui. Teleskop atau binokuler harus digunakan, bahkan sempat muncul gagasan teleskop ru’yat yang yang janggal secara astronomi. Semua teleskop memang untuk ru’yah(observasi), hanya saja sampai saat ini belum ada filter atau detektor yang khusus untuk melihat hilal yang berbeda dari pengamatan objek malam lainnya.
Di Amerika Serikat pernah dilaporkan kesaksian melihat hilal, bahkan dengan menggunakan teleskop, namun setelah diperiksa ternyata yang dilihatnya bukanlah hilal, tetapi tsabitnya planet venus. Bagi orang awam, bentuk tsabit sering dianggap hilal tanpa memperhitungkan ukurannya . Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sering kali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Sumpah saja dirasa tidak cukup, namun orang yang bersaksi melihat hilal harus tahu persis bagaimana bentuk dan posisi hilal secara pasti. Dan terkait dengan ru’yah yang dalam pelaksanaanya melibatkan tehnologi, maka penulis berpendapat masih diperlukannya sumpah sebagai sarana penguat sebuah pernyataan kesaksian. Berdasarkan fakta diatas, ternyata ru’yah yang dilakukan dengan teleskop pun masih rawan dengan kesalahan dan disinilah diperlukan sumpah sebgai penguatnya.

H. REDEFINISI HILAL SEBAGAI FAKTA ILMIAH DAN SEBAGAI PRODUK TAFSIR
Dari sekian banyak dalil al-qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang hisab-ru’yah, pokok masalah yang utama adalah tidak adanya petunjuk operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Tentu ini ada hikmahnya, umat Islam dengan demikian ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci, dan menguantitaskan pedoman umum dalam nass al-Qur’an dan hadits. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan disegala tempat, semuanya bersifat dinamis.
Umat Islam terus-menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari nass Al-qur’an dan hadits dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan pemikiran pada zamannya. Misalnya, sekian lama kita berdebat soal makna”Ru’yah” sehingga kemudian muncul ungkapan”ru’yah bil qalbi, bil ’Ilmi, dan ru’yah bil’ain. Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak sahnya ru’yah pakai alat yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan ru’yah dan hisab, penggunaan hisab wujudul hilal atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2 derajat adalah representasi bentuk simplikasi permasalahan yang kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran yang final oleh sebagian masyarakat .
TEKS DAN KONTEKS NASS
Perdebatan seputar penetapan Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah yang telah banyak menguras energi umat Islam, esensinya berpulang pada interpretasi nash (baik al-Qur'an maupun al-Hadits). Jika ditelusuri secara cermat, baik rukyat maupun hisab keduanya sama-sama menggunakan dalil yang sama, namun kesimpulan yang dihasilkan berbeda sesuai cara telaah (wajhu istidlâl) masing-masing. Diantara ayat yang menjadi landasan epistimologis tentang hal ini adalah QS. Al-Baqarah : 184. (barangsiapa menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa). Perbedaan penafsiran terletak pada prase 'syahida' yang biasa diartikan dengan menyaksikan. Bagi aliran rukyat, 'syahida' diartikan menyaksikan dengan mata semata, beralasan sejalan dengan tata cara pembuktian perkara di pengadilan, seseorang dapat menjadi saksi utama bila ia melihat kejadian secara langsung .
Sebaliknya, aliran hisab memaknai prase 'syahida' secara lebih rasional. Penyaksian sesuatu tidak harus dengan mata-kepala, memadai dengan mengarah kepada kebenaran hakiki. Seseorang menyatakan persaksian akan adanya Allah S.w.t., sekalipun tidak melihat dengan mata kepala, namun ia harus dan tetap meyakini keberadaan dan kekuasaan Allah swt. Persaksian terjadinya fenomena alam, yakin keteraturan alam ini terjadi karena memang ada yang mengaturnya, selain dengan keyakinan, juga dapat terbuktikan melalui peranan Ilmu Pengetahuan dengan memahami berbagai teori ilmu, inipun disebut penyaksian.
Sementara itu, hadits Nabi S.a.w. "shumu liru'yatihi wa afthiru liru'yatihi fa in ghumma 'alaikum..." dengan beragam penggalan redaksi akhir, mulai dari; fa atimmu al-'iddah tsalatsin, fa shumu tsalatsin, faqdurulah, aqdiru lahu tsalatsin, fa 'uddu tsalatsin, dll. juga menjadi landasan epistimologis dalam persoalan penetapan awal-awal bulan Qamariyah. Melihat dengan mata kepala, agaknya telah menjadi kesepakatan mayoritas para ulama dalam memaknai hadis ini. Namun, perdebatan dan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini senantiasa ada dan ramai, dari dulu hingga kini, dari ulama klasik sampai ulama & ilmuan modern. Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H), Ibnu al-Majdi (w. 850 H), Ibnu Daqiq al-'Id (w. 702 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), as-Syarwani (w... ?), al-Qalyubi (w. 1069 H), al-'Umairah (w... ?), Thanthawi Jawhari (w... ?), Rasyid Ridha (w... ?), Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H), Dr.Yusuf al-Qaradhawi, Dr.Ali Jumu'ah, dll. adalah sederetan ulama klasik dan kontemporer yang sedikit berbeda dengan jumhur, yang memberi ruang terhadap penggunaan fasilitas modern (baca: ilmu hisab-falak) dalam menetapkan awal-awal bulan Qamariyah. Mereka berapologi bahwa majunya peradaban manusia yang diiringi pula dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hadits-hadits di atas dapat di re-aktualisasi-kan dalam konteks kekinian dan kedisinian .
FAKTA ILMIAH RU’YAH
Penerapan rukyat hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariyah, setidaknya akan bersentuhan pada beberapa keadaan baku yang menjadi karakteristik hilal awal bulan, yaitu ;
1. Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal negatif). Dalam keadaan ini, hilal mustahil terlihat, dan setiap kesaksian tertolak.
2. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari. Dalam keadaan ini, ada kemungkinan hilal terlihat, namun bergantung ketinggiannya di atas ufuk.
3. Hilal terlihat setelah terbenamnya Matahri sebelum terjadinya itjima' (konjungsi). Hal ini belum terhitung awal bulan dan masih terhitung sebagai hilal akhir bulan. (fenomena ini terhitung sebagai kejadian yang ganjil dan jarang terjadi).
4. Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah), maka dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.
5. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari, sementara itu diwilayah lain sebaliknya. Maka dalam hal ini, setiap wilayah berlaku mathla' masing-masing berlandaskan pada hadits Kuraib.
6. Bulan terbenam sebelum terbenamnya Matahari di sebagian wilayah, sementara di wilayah lain sebaliknya. Maka, rukyah berlaku pada mabda' (mathla') masing-masing, dan terkadang, point 4, 5, dan 6 dikembalikan kepada penguasa sebagai ulil amri. (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Nahwu Shiyaghah Mabady' at-Taqwim al-Islamy al-'Alamy, h. 18).
Enam keadaan diatas merupakan fakta ilmiah rukyat yang hendaknya dipahami secara baik. Dan dalam aktifitas rukyat hilal –sebagaimana tertera dalam buku-buku fikih maupun hadits- sama dimaklumi perlu adanya saksi adil. Cukup beragam kriteria yang ditawarkan fuqaha' dalam hal ini, ringkasnya; 1] Sehat badan dan pikiran. 2] Jelas penglihatan. 3] Jujur & terpercaya. 4] Memahami teks dan konteks ilmiah rukyat, yang keempat syarat ini dikemas dengan sumpah.
Ringkasnya, apa, bagaimana, berapa, berapa lama, kapan dan dimana hilal itu ? Deretan pertanyaan teknis hilal ini hendaknya terlebih dahulu dipahami secara baik oleh para perukyat. Namun kenyataan di lapangan, banyak perukyat yang tidak memahami hal-hal teknis ini, yang terjadi hanyalah tunduk patuh terhadap literalis hadits tanpa riset dan reserv ilmiah. Hadits Nabi Saw. memang sederhana, namun menuntut praktek tepat yang terkait dengan tiga fenomena alami benda angkasa (Bulan, Bumi dan Matahari). Rasul Saw. memang tidak pernah menanyakan serinci dan se-eksplisit ini, karena ketika itu sarana satu-satunya hanyalah pengamatan, dan sahabat pun lihai dan piawai dengan fenomena langit .
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi ”hilal”yang integral antar hisab dan ru’yah dengan riset ilmiah yang terbuka. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri dan selalu terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru. Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, dirinci,dan dikuantitaskan diantaranya adalah definisi mengenai hilal. Definisi hilal bis beragam,tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana ru’yah tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil tehnologi baru. Hilal juga harus terdefinisi dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya dapat dirumuskan, hilal adalah bulan tsabit pertama yang teramati diufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis ditepi lautan bulan yang mengarah ke matahari .
Pendekatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap kebumi beberapa saat setelah ijtima’. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisab nya bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan. Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal patut dihargai, itu merupakan syarat perlu untuk munculnya hilal . tetapi syarat itu belum cukup. Sedangkan NU dalam hal penentuan awal bulan, menetapkan nya harus dengan ru’yah bil fi’li dengan melihat secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih berada dibawah ufuk, mereka tetap meru’yah untuk kemudian dilakukan istikmal. Hisab dijadikan sebagai alat bantu, dan bukan penentu. Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dan bisa dismpulkan bahwa definisi hilal bukan semata-mata hilal ”syariat” yang diyakini benarnya menurut sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah .

I.PELAPORAN HASIL RU’YAH DAN PENGAMBILAN SUMPAH DI INDONESIA
Ru’yah Al-hilal di Indonesia dilaksanakan secara terorganisasi, yaitu Departemen Agama memberikan instruksi kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama seluruh Indonesia untuk diteruskan kepada jajaran dibawahnya agar melakukan ru’yah didaerah masing-masing bersama-sama dengan pengadilan Agama, ormas Islam, pesantren, lembaga terkait dan masyarakat luas dengan koordinator ada pada Departemen Agama yang bersangkutan. Bagi kelompok masyarakat yang tidak bisa melakukan ru’yah bersama-sama dengan Departemen Agama, hendaknya memberitahukan kepada Departemen Agama agar pelaksanaan ru’yatnya terpantau oleh Departemen agama .
Apabila ada yang berhasil melihat hilal, maka sebelum dilaporkan ke Departemen agama Pusat hendaklah peru’yah yang bersangkutan diambil sumpah terlebih dahulu oleh Hakim Agama yang sudah dipersiapkan dan kemudian barulah hasil ru’yah itu dilaporkan oleh koordinator kepada Departemen agama Pusat, bisa melalui telp atau fax yang sudah tersedia. Pengadilan Agama berdasarkan pasal 52A UU 3/2006 mempunyai kewenangan dalam mengitsbat kesaksian ru’yah. Penetapan hasil ru’yah akan dipakai oleh Menteri agama dalam mengitsbat awal Ramadlan dan / hari raya Idul fitri. Hakim PA harus berhati-hati dalam menerima, memeriksa, dan menetapkan kesaksian ru’yah .
Laporan Ru’yah hilal diIndonesia dilakukan dengan sistem =
1. Peru’yah memberitahukan kepada koordinator tim pelaksana ru’yah setempat bahwa dirinya berhasil melihat hilal.
2. Koordinator pelaksan ru’yah bersama Hakim Agama memeriksa laporan pengakuan ru’yah itu, baik dari sisi formal maupun material.
3. Hakim agama mengambil sumpah kepada peru’yah bahwa dirinya benar-benar berhasil melihat hilal.
4. Naskah sumpah diminta koordinator untuk dilaporkan kepada departemen Agama Pusat sebagai bahan sidang itsbat.
Hal-hal yang dilaporkan cukup singkat saja:
a. Nama, jabatan, dan tempat pelapor
b. Hilal tampak atau tidak tampak ( sesuai kenyataan dilapangan)
c. Kalau hilal berhasil dilihat, laporkan juga berapa orang yang melihat, siapa saja namanya serta sudah disumpah oleh Hakim Agama mana, dan siapa namanya.

III. PENUTUP
Dalam kondisi dan untuk kepentingan tertentu, sumpah sangat dianjurkan dalam agama Islam dan terkait dengan sumpah bagi orang yang melihat hilal, demikian ini dimaksudkan untuk membebaskan dirinya dari kesalahan atau kekeliruan yang disadarinya, baik sengaja atau tidak. Karena Allah SWT membebaskan hambaNYA yang melakukan kesalahan ataupun kekeliruan yang tidak disadarinya. Padahal kekeliruan manusiawi yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan ru’yah sebagian besar disebabkan oleh kekeliruan yang tidak disadari oleh pelakunya sendiri. Menurut hemat penulis, hukum sumpah menjadi wajib karena dengan adanya sumpah itu, kita dapat mengetahui dan yakin akan kejujuran dan ketulusan orang yang diangkat sumpah itu dan untuk meminimalisir kesalahan. Kesaksian hilal yang lebih rendah dari kriteria bersama dapat ditolak karena dianggap meragukan dan mungkin terjadi kekeliruan mengamati obyek terang bukan hilal(misalnya planet venus).
Tampaknya, setiap laporan ru’yah al-hilal langsung diterima tanpa adanya konfirmasi benar tidaknya hilal yang teramati itu. Mungkin dasarnya hanya keimanan dan kejujuran pengamat hilal tersebut. Secara Syar’I itu sah, karena Nabi sendiri pernah menerima kesaksian seseorang dari orang yang menyatakan melihat hilal hany dengan menguji keimanannya. Tetapi pada zaman nabi mungkin semua orang faham betul tentang hilal, karena itulah satu-satunya alat penentu tanggal. Untuk saat ini, walaupun keimanan dan kejujuran dari pengamat hilal tersebut tidak diragukan, tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya. Hal ini sumpah saja belum cukup, namun diperlukan bukti ilmiah. Pengamat hilal ternyata banyak yang belum memahami apa dan bagaimana hakikatnya wujud nyata dari hilal itu, dan gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan sehingga tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya ketegasan kriteria siapa saja yang berhak diterima kesaksiaannya dan seseorang yang diberi tugas untuk melakukan penyumpahan, dalam hal ini hakim PA harus paham dan dapat membaca data hisab yang telah disiapkan oleh para ahlinya. Sehingga para hakim harus terus mengikuti perkembangan hisab ru’yah agar mempunyai wawasan luas yang sangat diperlukan daam mempertimbangkan apakah suatu laporan ru’yah bisa diterima atau tidak, karena kesalahan dalam menetapkan kesaksian ru’yah dapat berakibat fatal. Jadi, kedua belah pihak tentunya harus sama-sama memilki bekal keilmuan yang cukup mengenai ilmu hisab dan ru’yah serta adanya eksistensi dari pemerintah dalam menetapkan kriteria Imkan al-ru’yah sehingga dapat menghasilkan keputusan yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan syar’iyah.






















BIBLIOGRAFI.
Al-kohaji, Abdullah bin syaikh Al-alamah syaikh hasan , Zaad Al-muhtaj Beirut: Maktabah Ashriyah,1988 .
Alkahlani,sayid Imam muhamad bin Ismail, Subulussalam Juz II, Semarang: Toha putra,tt.
Al-jaziry,abdul Rahman, Al-fiqhu ‘Alaa fi madzaahibil Arba’ah juz 1,Mesir: Al-maktabah AlBukhoriyah Al kubro,tt,.
Al-Syuyuthi, Al-khafidz Jalaludin, Sunan Nasa’I juz IV, Beirut: Daar Al-kitab Al-Alamiyah,tt.
Al-Asqolaniy,Al-imam Al-hafidz ibnu hajar, Fathul baariy:Shahih bukhori terj. Amiruddin , Jakarta: Pustaka Azzam,2004.
Assaukani, Nailul Author Juz IV, Daar Al-fikr,tt.
Djamaluddin,thomas, Menggagas Fiqh Astronomi Bandung : Kaki langit,2005.
Deri suyatma,” Cara penentuan awal dan akhir Ramadlan” diambil dari internet website: http:// id.wordpress.com. diakses pada tanggal 2 /10/2009.
Dewan redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam vol.4 ,jakarta: Ichtiar van hoeve, 1997.
Direktorat pembinaan badan Peradilan agama Islam, Mimbar Hukum Jakarta: PT. Intermasa,1993
Hasil keputusan Musyawarah kerja Hisab Rukyah tahun 1997 / 1998 di Ciawi Bogor.
Ibn Anas , Ibn Malik,Al-muwatta’ terj. Dwi surya atmaja, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999.
Izzudin, Ahmad, Fiqh hisab ru’yah menyatukan NU& MUHAMADIYAH dalam penentuan Awal Ramadlan ,Idul fitri dan Idul Adha,Jakarta: Erlangga, 2007.
Indah Purnama sari “Kesalahan hakim dalam mengitsbat kesaksian ru’yah berakibat fatal” dalam internet “http:// www.badilag.net/www.badilag.net. Diakses pada tanggal 2/10/2009
Khazin, muhyidin, 99 tanya jawab masalah hisab ru’yat Yogyakarta: Ramadan Press,2009.
Musthafa, Abdul hamid & Faraghi, Abdul hafidz, silsilah Al-fiqhAl-Islam Alaa Madzaahibil Arba’ah jilid 3 (tt…)
Masyhur, Kahar, Terjemah Bulughul Maram Jilid II, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992.
Purnomo,Agus, Skripsi:Kontraversi antara hisab dan rukyah dalam penetapan awal ramadlan dan syawal menurut hukum Islam, Ponorogo: STAIN,1995
Qardlawi,Yusuf,Fiqh puasa (Surakarta: Era Intermedia, 2006),41.
Rusyd, Ibn , Bidayatul Mujtahid terj. M. Abdurrahman, Semarang: CV. Assyifa’, 1990.
Saurah, Abi Isa muhammad bin Isa , Sunan Tirmidzi jilid 2, Beirut: Dar al-fikr,tt.
Sabiq, Sayid, Fiqhussunnah cet. 2, Bandung: PT. Al maarif,1990.
_______ Sulamunnayrain Terj. Syafa’at,(Karanganyar :tt,2004),30.
Arwin Juli Rahmadi, Ru’yah Hilal:Spekulasi sampai probabilitas Subyektif, dalam Internet website: http://alatas.multiply.com/journal/item/2, diakses pada tanggal 23/12/2009.
KONSEP MASLAHAH MENURUT THUFI

I. PENDAHULUAN
Syari’at Islam merupakan syari’at penutup yang datang ketika umat manusia telah sampai pada puncak kedewasaannya, dan bersifat universal yang tidak ada lagi risalah dan nubuwwah sesudahnya. Allah menyempurnakan pembinaan syari’at yang telah lalu dengan syari’at Islam ini dan Allah menjadikan Syari’at Islam ini menjadi rahmat bagi umat yang mau menerimanya. Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum adalah untuk menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat secara keseluruhan. Hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan hamba, maka kemaslahatan itu kembali pada hamba menurut ukuran syara’ dan kemaslahatan itu semua nya kembali kepada mukallaf baik didunia maupun diakhirat. Hukum Islam itu adalah hukum yang terus hidup dan terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Dia mempunyai gerak yang tetap dan prkembangan terus berjalan. Karenanya hukum Islam senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan tabi’at Hukum Islam yang terus berkembang.
Syari’at yang berkembang didunia ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Yang dimaksud Maslahah itu adalah jalb Al-masalih wa dar’u al-mafasid yaitu menarik kemanfaatan dan menolak kemudlaratan. Maslahah itu ada yang dihargai dan ada pula yang ditolak oleh syara’. Hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi umat manusia, bahkan bagi segenap alam. Maka tiadalah berwujud rahmat itu terkecuali apabila hukum Islam itu benar-benar mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Tidak ada sesuatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan bagi manusia. Hukum Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan keunggulan yang menyebabkan hukum islam itu menjadi hukum yang paling kaya dan yang paling dapat memenuhi hajat masyarakat dan menjamin ketenangan serta kebahagiaan masyarakat.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan inti pensyariatan hukum Islam kiranya merupakan jawaban dari segala permasalahan yang terjadi dimasyarakat yang semakin berkembang dan membutuhkan ketegasan hukum. Makalah ini, disusun mengungkap sisi maslahah dari sudut pandang seorang pemikir hukum Islam yang dipandang tokoh paling ekstrim dimasanya, yaitu Najm Al-din Al-Thufi.

II. PEMBAHASAN
A. Definisi Maslahah
Secara etimologi, maslahah berasal dari kataصلح. Kata maslahah semakna dengan kata al-manfaah yaitu bentuk masdar ( adverb) yang berarti baik dan mengandung manfaat. Maslahah merupakan bentuk mufrad (tunggal )yang jamaknya (plural)dari al-masalih.Maslahah dalam bahasa arab disebut pula dengan خير و الصواب yaitu baik dan buruk. Maslahah disebut pula dengan اسثصلاح yang berati mencari yang baik طلب الاصلاح . Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,disebutkan bahwa maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, guna dan faedah. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan . Pengertian maslahah menurut bahasa diatas ada relevansinya dengan pengertian maslahah menurut istilah sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah ini.
Secara terminologi, definisi maslahah dikemukakan oleh ahli ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung essensi yang sama. Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah ”mengambil manfaat dan menolak kemudlaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’ . Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara diatas, maka dinamakan Maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudlaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan maslahah . Definisi maslahah menurut Thufi faktor penyebab yang mengantarkan pada maksud pembuat hukum ( Syari’)dalam masalah-masalah ibadah maupun adat kebiasaan.

B. Kehujjahan Maslahah
Para pakar hukum Islam sepakat bahwa al-qur’an merupakan dalil /sumber pokok hukum Islam. Selaku dalil hukum Islam, al-qur’an telah meletakkan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum tentang hal ihwal hukum Islam. Salah satu diantaranya yang paling dominan adalah prinsip maslahah. Dari sekian banyak ayat al-qur’an yang menyampaikan pesan-pesan tentang penetapan hukum (tashri’)dapat diketahui betapa besar perhatian Al-qur’an terhadap prinsip maslahah, sehingga para ulama mengambil kesimpulan bahwa kemaslahatan merupakan tujuan inti / pokok penetapan hukum Islam. Adapun kehujjahan dari maslahah antara lain dapat disimak pada ayat berikut:
        
”ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Adapun kehujjahan maslahah pada prinsipnya jumhur ulama sepakat menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’ sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Hukum syar’i ditetapkan demi terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Artinya agar memberi manfaat atau mencegah kemudlaratan. Kalau suatu kasus atau persoalan sudah ada penjelasan hukumnya baik melalui nass, ijma’, atau qiyas, maka hukum itulah yang harus diambil. Karena didalam hukum itu pasti ada kemaslahatan. Tetapi jika suatu kasus tidak terdapat dalam sumber hukum yang telah disebutkan diatas, maka sepantasnya jika hukum atas peristiwa tersebut diarahkan pada kemaslahatan .

C. Macam-macam Maslahah
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum maslahah ada tiga macam :
a. Maslahah Dlaruriyah, adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah.
Contoh: Allah melarang murtad untuk memelihara agama.
b. Maslahah Hajjiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dlarury. Kemaslahatan ini jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi tidak secara langsung memang bisa menyebabkan perusakan.
Contoh: makan untuk kelangsungan hidup.
c. Maslahah Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dlarury dan tidak sampai juga pada tingkat hajjy, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
Sedangkan dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada :
i. Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
ii. Maslahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’. Karena bertentangan dengan ketenuan syara’.
iii. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaanya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan oleh syara’ dengan dalil yang rinci.
D. Konsep Maslahah sebelum Thufi
Jumhur fuqaha sepakat bahwa maslahat merupakan asas yang penting untuk menetapkan hukum fiqhiyah. Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan maslahah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh syari’ baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut akan penulis paparkan tentang pendapat maslahah menurut beberapa madzhab. Adapun yang menjadi perhatian utama pada pembahasan konsep maslahah sebelum Thufi adalah madzhab-madzhab tradisional, Yaitu:
• Madzhab Hanafi yang diambil dari nama Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit ( W. 150 H/ 767M).
• Madzhab Maliky yang diambil dari nama Malik Ibn Anas ( W. 179H/ 795M)
• Madzhab syafi’i yang diberi nama sesuai nama Muhammad Ibn Idris Asy-syafi’i ( W. 204H/ 819M)
• Madzhab Hanbaly yang diambil dari nama Ahmad Ibn Hanbal ( W. 241H/ 855M)
Tak satupun dari keempat madzhab ini mengakui kemaslahatan manusia ( Maslahah) atau pencegahan kerugian sosial sebagai sumber hukum yang independen, selengkapnya akan penulis paparkan tentang pendapat madzhab tradisional terhadap konsep maslahah sekaligus argumentasinya.
a.) Ulama Malikiyah dan Ulama Hanabilah, adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah sebagai dalil dalam menetapkan hukum sekaligus menjadikannya sebagai metode ijtihad .
Menurut kelompok ini, maslahah berpijak pada pencarian keserasian dan sejalan dengan tujuan syari’at. Disamping kemaslahatan itu disebutkan dalam nass juga mencakup seluruh kemaslahatan meskipun tidak disebut dalam nass tetapi tetap sejalan dengan tujuan syari’at. Malik dikatakan mengakui maslahah mursalah yang berarti kepentingan-kepentingan yang tak terbatas. Artinya ia menganggap sah praktik-praktik atau transaksi yang tidak dilarang atau tidak dibahas oleh Al-qur’an, atau sunnah nabi. Dua kelompok madzhab ini membina hukum atas dasar asal maslahat baik itu tidak ada didalam nass atau ijma’ ulama dan antara dianggap maslahah atau tidak, maka ia adalah maslahah yang pantas dijadikan dasar penetapan suatu hukum . Pertanyaan lebih lanjut yang bisa diajukan terkait dengan konsep maslahah yang dijadikan sebagai kerangka dasar dalam pembinaan syari’ah adalah bagaimana cara mengukur atau mengidentifikasi bahwa sesuatu itu maslahah? karena eksistensi maslahah sebagai sumber atau metode penemuan hukum sebenarnya masih diperdebatkan. Dalam aplikasinya, mereka menyebut tiga syarat bagi tegaknya maslahah ini, yaitu:
pertama, terdapatnya persesuaian antara maslahah dengan maqasid al-syari’ah serta tidak bertentangan dengan dasar hukum yang lain. Kedua, substansi maslahah itu logis dan pasti. Ketiga, penggunaan maslahah itu bertujuan untuk menghilangkan kesempitan umat manusia dan menyangkut kepentingan orang banyak bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan . Dengan uraian ini, tampak bahwa pertimbangan dan ukuran maslahah sangat tergantung pada kemempuan dan peran akal yang dimiliki manusia.
Adapun alasan jumhur ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum adalah:
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum pasti mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan serta pembentukan hukum itu hanya berkisar atas maslahah yang diakui oleh syari’ saja maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan ummat manusia pada berbagai zaman dan tempat.
3. Hendaklah maslahah itu yang bisa dipastikan dan bersifat hakiki bukan maslahah wahmiyah( angan-angan) dan bukan rekayasa.
4. Mereka merujuk pada beberapa perbuatan para sahabat, tabi’in dan para Mujtahid. Mereka mensyariatkan beberapa hukum untuk merealisir maslahah secara umum bukan karena ada nya dukungan atau teks dalam nass.

b.) Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah, merupakan kelompok yang menolak maslahah sebagai hujjah syar’iyyah.
Asy-syafi’i adalah ahli hukum pertama yang tampaknya menolak penggunaan akal dalam masalah-masalah hukum termasuk juga perlindungan terhadap kemaslahatan manusia. Ia menegaskan bahwa satu-satunya sumber materi hukum yang dapat diterima adalah Al-qur’an dan Sunnah. Menurutnya, semua kemaslahatan hukum manusia bisa ditemukan dalam Al-qur’an dan Sunnah tanpa perlu menggunakan akal, kecuali ketika terpaksa. Syafi’i juga mengatakan bahwa tidak bisa menarik kesimpulan hukum dengan maslahah karena berarti mereka telah membuat hukum sendiri dan berarti pula mereka telah mengikuti hawa nafsu.
Adapun yang menjadi dasar penolakan kelompok ini terhadap kehujjahan maslahah adalah:
a. Maslahah itu ada yang dihargai dan ada yang ditolak oleh syar’i, maka mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-qur’an dan Sunnah.
b. Menggunakan maslahah(Mursalah) dalam penetapan hukum adalah menempuh jalan berdasarkan hawa nafsu dan hal ini seperti tidak diperbolehkan.
c. Menggunakan maslahah akan menimbulkan perbedaan hukum karena perbedaan zaman dan lingkungan serta mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum. Tentunya hal ini akan menghilangkan fungsi keumuman syari’atdan nilainya yang berlaku disetiap zaman dan tempat.
Pada dasarnya, ulama syafi’iyah juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syar’i. Tetapi Syafi’i memasukkannya dalam konsep qiyas. Begitu pula dengan ulama hanafiyah juga mengamalkan maslahah, dimana penerapannya terlihat secara luas dalam metode Istihsan yang populer dikalangan ulama Hanafiyah. Penggunaan maslahah dikalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu catatan bahwa meskipun maslahah ini tidak didukung oleh syara’ secara langsung atau tidak ,namun setidaknya maslahah itu setidaknya dekat denganprinsip pokok hukum syara’ yang sudah ditetapkan.

E. Konsep Maslahah menurut Thufi
a.) Biografi Singkat
Kata at-Thufi adalah kata sifat relatif yang berhubungan dengan kata Thawfa, nama sebuah desa di dekat Baghdad di Iraq. Jadi, Thufi adalah orang yang berasal dari Thawfa. Najm Al-Din yang berarti ”bintangnya agama”, merupakan nama panggilan atau gelar (laqab) yang diberikan kepada Thufi oleh para pemujanya. Dengan demikian jika nama populernya adalah Najm Al-Din Al-Thufi, maka nama asli atau resminya adalah Sulayman Ibn Abd Al-qwi Ibn Abd Al-Karim Ibn Sa’id. Beliau dilahirkan dikampung Thawfa sekitar 675H/ 1276M dan meninggal dunia dipalestina sekitar 716H/1316M. Beliau lahir dan terdidik sebagai seorang muslim bermadzhab Hanbali, yang para pengikutnya secara khusus terkenal karena keengganan yang kuat terhadap akal pikiran dan permusuhannya terhadap para pemikir bebas yang independen .
Berdasarkan informasi, Thufi telah membuat marah para Hakim madzhab Hanbali karena mempertahankan suatu pandangan tertentu yang tidak sama atau tidak disetujui oleh hakim dimasanya selama debat terbuka. Pada tahun 705H/ 1305M, selama tinggal diMesir,At-Thufi disiksa dan diarak-arak dijalan-jalan Kairo, dipenjarakan dan kemudian dibuang oleh para penguasa politik atas permintaan para ahli hukum tradisional, terutama hakim yang mewakili madzhab Hanbali Kairo pada masa itu yaitu Sa’ad Al-din Al-Harisi(w. 711H/1311M). Konspirasi melawan thufi oleh para ulama pada masa itu terjadi karena penghormatannya terhadap akal dipandang telah menentang legitimasi, otoritas, kebenaran atau otentisitas asumsi dasar dari madzhab hukum mereka khusunya yang berkaitan dengan Sunnah nabi. At-Thufi juga dituduh oleh para ulama pada masanya sebagai pengikut Syi’ah yang ekstrim, namun beberapa karya tulisnya menunjukkan bahwa thufi jauh dari sebagai penganut Syi’ah.
Persepsi at-thufi menenai perlindungan kemaslahatan manusia sebagai sumber atau prinsip hukum tertinggi bisa jadi dibangkitkan oleh persepsinya mengenai keburukan-keburukan dan ketidakadilan sosial yang ada dan didorong oleh penderitaan politik, hukum, yang terjadi dimasanya. Sebagaimana telah terbukti bahwa praktik-praktik hukum dan politik yang telah melumpuhkan kehidupan –kehidupan muslim, tidak mungkin dihadapi tanpa menimbulkan resiko dihukum mati atau disiksa. Sebab, legitimasi atau otoritas rezim politik dibelakangnya yang mempertahankan nya melalui kekuasaan yang diberikan para ahli hukum dimasanya sebagaimana hal inijuga bermula dari pengambilan tindakan keras terhadap kaum Khawarij dan Mu’tazilah .

b.) Konsep Maslahah dalam pandangan Thufi
Najm Al-din Al-Thufi adalah seorang ulama fiqh, dan ushul fiqh madzhab Hanbali yang dilahirkan didesa Thawfa, Shar-Shar ,Iraq. Ia adalah seorang ilmuwan yang haus tehadap berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dalam sejarah tercatat ia belajar fiqh, ushu fiqh, bahasa Arab, ilmu Mantiq, kalam, hadits, sejarah, tafsir, dan ilmu jadal (cara berdiskusi). Kebanyakan gurunya adalah ulama bermadzhab Hanbali, sehingga tidak mengherankan al-thufi dianggap sebagai penganut madzhab tersebut.
Berbekal dari ilmu yang ia kuasai, Thufi berupaya untuk mengembangkan pemikirannya dan mengajak para ulama dimasanya untuk berpegang teguh pada Al-qur’n dan sunnah secara langsung dalam mencari kebenaran tanpa terikat kepada pendapat orang lain atau madzhab fiqh manapun. Dalam rangka mencari kebenaran dan kebebasan berpikir , al-Thufi tidak saja mempelajari kitab sunni tapi juga banyak mempelajari literatur-literatur syi’ah dizamannya. Ketika itu dikotomi sunni-syi’ah sangat kuata, namun thufi tidak terpengaruh dengan dikotomi tersebut.
Diantara pemikiran Al-thufi adalah tentang maslahah yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh ketika itu. Pembahasannya tentang maslahah bertumpu pada hadits Rasulullah yang berbunyi:
لا ضرر و لاضرر في الاسلام
”tidak boleh memudlaratkan dan tidak boleh pula dimudlaratkan oleh orang lain”
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nass,adalah kemaslahatan bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nass baik oleh nass tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nass. Perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, kata Thufi adalah tujuan utama Islam atau sumber utama tujuannya (qutb Maqsud Al-syar’i). Thufi menegaskan perlindungan atau penegasan terhadapnya dalam masalah hukum, karenanya lebih didahulukan atas pertimbangan hukumyang lain. Artinya, ia memiliki prioritas atas seluruh sumber-sumber hukum tradisional madzhab-madzhab hukum muslim, termasuk teks Al-qur’an, sunnah maupun Ijma’ .
Dalam uraianya mengenai sumber-sumber hukum tradisional,diantara ke 19 sumber hukum ini , yang terkuat adalah teks-teks keagamaan dan ijma’ (konsensus). Jika dua sumber itu sepenuhnya sejalan dengan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, maka semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan maka perlindungan terhadap kemaslahatan tentunya menduduki prioritas diatas dua sumber tersebut. Thufi menegaskan, pemberian prioritas ini tidak dimaksudkan untuk menghentikan atau menyangkal secara total validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk menjelaskan fungsinya yang proporsional.
Menurut Najm Al-din Al-thufi, maslahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Ada empat prinsip yang dianut al-Thufi tentang maslahah yang menyebabkan pandangannya berbeda dengan jumhur ulama’, yaitu :
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (kemudlaratan), khususnya dalam bidang muamalat dan adat. Untuk menentukan sesuatu-termasuk mengenai kemaslahatan atau kemudlaratan-cukup dengan akal tanpa harus ada dukungan dari nass, atau Ijma’,baik bentuk,sifat maupun jenisnya.
2. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu maslahah tidak diperlukan dalil pendukung karena maslahah itu didasarkan pada pendapat akal semata.
3. Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan. Adapun masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’-seperti shalat dzuhur empat rakaat-tidak termasuk objek maslahah, karena masalah seperti itu merupakan hak Allah semata.
4. Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Oleh sebab itu, apabila nass atau ijma’ bertentangan dengan maslahah maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis(pengkhususan hukum) dan bayan(perincian/penjelasan).
Adapun sejumlah alasan bagi para pemberian prioritas pada kemaslahatan umum atas teks-teks keagamaan dan ijma’ adalah :
a.) orang yang menolak ijma’ berpegang pada kepedulian terhadap kemaslahatan yang membuat kemaslahatan berada dalam posisi yang disepakati, sedangkan ijma’ dalam posisi yang diperselisihkan. Padahal berpegang pada apa yang disepakati adalah lebih utama dari pada berpegang pada apa yang diperselisihkan.
b.) Karena teks-teks berbeda dan saling bertentangan (mukhtalifah muta’aridah), sehingga menjadi sebab perbedaan pendapat dalam penetapan hukum yang itu dicela menurut syara’. Tetapi kepedulian pada kemaslahatan merupakan masalah nyata dalam dirinya dan tidak diperselisihkan, karenanya ia lebih patut untuk diikuti.
c.) Adanya ketetapan di dalam Sunnah yang bertentangan dengan kemaslahatan umum dan sejenisnya pada beberapa kasus( terdapat kontradiksi antara hadits-hadits Nabi sendiri).
Selanjutnya Thufi menunjukkan, kemaslahatan hukum atauu kehidupan duniawi manusia diketahui olehnya melalui cara-cara alami yang diberikan oleh Tuhan kepadanya ,dengan sifat alami, dari pengalaman-pengalaman hidup manusia sendiri dan dengan tuntutan akal atau intelegensinya sendiri. Cara alami ini, merupakan metode pemahaman dan pencapaian tujuan yang paling meyakinkan manusia. Karenanya maslahah seharusnya tidak digantikan dengan metode atau sumber lain yang mungkin bisa atau tidak bisa mengantarkan kepada kemaslahatan manusia. Berkaitan dengan penekanan pada hak dan tanggung jawab manusia untuk untuk memutuskan dan membentuk kemaslahatan hukum atau kehidupan duniawi manusia yang selaras dengan tuntutan akal dan pemahamannya sendiri, Thufi mengatakan:
”Tidak boleh dikatakan bahwa hukum keagamaan lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan karenanya ia seharusnya diambil dari sumber-sumbernya . sebab, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan salah satu dari prinsip hukum agama. Ia merupakan prinsip yang paling kuat dan khas. Oleh karena itu kita harus memberikan prioritas kepadanya untuk mencapai kemaslahatan”.



C.) Relevansi Maslahah dimasa kini dan dimasa yang akan datang.
Dewasa ini, lebih-lebih dimasa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaian nya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama ( konvensional) yang digunakan oleh ulama terdahulu.
Dalam kondisi yang demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus yang secara rasional dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya, tetapi sulit menemukan dukungan hukumnya dari nass. Dalam upaya untuk mencari solusi agar seluruh tindak tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, dan maslahah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk mengeliminasi (mengurangi ) atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka dalam bera berijtihad dengan menggunakan maslahah sebaiknya dilakukan secara bersama-sama .
Dikalangan madzhab Syafi’i, istilah maslahah kurang begitu populer dan tentu saja jarang atau bahkan tidak pernah dijadikan sebagai landasan atau metode penemuan hukum. Sisi yang paling menarik untuk menelisik pertimbangan maslahah dari para pemikir tema pemikir hukum Islam adalah adanya kenyataan bahwa madzhab yang ada diIndonesia adalah madzhab syafi’i yang sebagaimana terlihat agak alergi untuk menggunakan maslahah. Pertimbangan dominan yang menjadi ukuran maslahah dari para pemikir hukum Islam di Indonesia (Hasbi, Hazairin, Munawir, Masdar, Sahal, dan Ali Yafie )adalah keadilan. Sebagaimana diketahui, keadilan telah menjadi oase kehidupan. Ia laksana ruh yang memberi nafas dan energi bagi terwujudnya sebuah kehidupan yang manusiawi dan demokratis.
Perwujudan keadilan sosial dalam Islam,misalnya adalah adanya persamaan semua manusia dihadapan hukum(equality before the law) tanpa ada klasifikasi sosial maupun gender. Adanya pengakuan hak-hak perempuan, terutama ketika Al-qur'an diturunkan sudah merupakan langkah yang maju dan diterima dengan rasa senang oleh kaum perempuan Arab ketika itu. Pengkuan Islam atas hak-hak ini merupakan kontra wacana terhadap realitas masyarakat waktu itu yang menegasikan hak-hak sosial kaum perempuan. Pembagian kewarisan (yang sebelumnya belum pernah diterima oleh kaum perempuan) lak tidak mutdirasa telah memenuhi rasa keadilan pada masyarakat empat belas abad yang lalu .
Dengan berubahnya kedudukan dan peran perempuan didalam masyarakat maka nilai dan ukuran keadilan itu turut berubah. Bagi Munawir, tindakan inovasi hukum seperti inilah implikasi dari tidak terpenuhinya rasa keadilan dan kekhawatiran tidak terciptanya kemaslahatan jika ayat 17 dari surat An-Nisa’ benar-benar diterapkan. Atas dasar ini, tema reaktualisasi ajaran agama muncul dan menawarkan model tafsir baru. Pembagian harta waris yang termuat dalam ayat tersebut dipandang oleh Munawir sebagai cara Al-qur’anmewujudkan keadilan dalam pendistribusian warisan. Oleh karena itu, jika dengan ketentuan tersebut ternyata keadilan tidak terwujud dan karenanya maslahah tidak tercapai maka manusia mempunyai wewenang untuk mengubahnya denagn menyamakan pembagian tersebut, karena ketentuan tersebut juga berdimensi sosiologis, teologis .

F. IMPLEMENTASI MASLAHAH TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN SUCI RAMADLAN
Dalam sebuah Hadits, rasul bersabda:” mulailah berpuasa karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan. Jika mendung maka sempurnakanlah hitungan menjadi 30 hari”. Pemahaman literal hadits tersebut menyiratkan keharusan melihat bulan untuk memulai puasa Ramadlan atau hari raya. Apa yang menjadi semangat sunnah dari teks hadits tersebut sebenarnya bagaimana kita menentukan awal bulan dengan cermat sehingga kita bisa berpuasa satu bulan penuh tanpa ada satu hari pun yang disia-siakan. Rasul sendiri sangat arif bijaksana menentukan cara ru’yah saat itu. Sebab ditengah-tengah kondisi masyarakat arab yang awam dan tidak bisa baca tulis saat itu hanya dengan cara itulah yang bisa ditempuh mereka untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi masyarakat Arab saat itu seandainya Rasulullah menentukan cara penetapan awal bulan diluar kemampuan mereka.
Dengan perkembangan ilmu falak dan astronomi yang cukup pesat saat ini, apa tidak selayaknya dikembangkan cara-cara lain untuk menentukan awal bulan. Sebab tidak tertutup kemungkinan menetukan awal bulan dengan hisab yang ditopang ilmu pengetahuan modern saat ini akan lebih valid dan obyektif ketimbang melihat bulan bulan dengan mata telanjang yang kadang terkesan subyektif. Sebab penentuan awal bulan dengan hisab akan meminimalisir angka perbedaan yang kadang sampai terpaut dua atau tiga bahkan empat hari antara satu tempat ke tempat yang lain . Ini merupakan contoh aplikatif yang menyisakan sebuah refleksi dan renungan bagi kita semua. Perkembangan masyarakat dan dunia IPTEK akan berimplikasi konkret pada dinamisasi maslahah yang melekat pada setiap peristiwa hukum.
Dengan berdasar pada hadits diatas, bagi madzhab ru’yah pun memberikan penafsiran yang berbeda. Secara makro hadits tersebut bersifat ta’abbudi –ghair al ma’qul al ma’na-dalam artian tidak dapat dikembangkan dan tidak dapat dirasionalkan pengertiaanya. Hanya saja, belakangan pemikiran NU sebagai madzhab ru’yah tidak sepenuhnya bersifat ta’abbudi –ghair al ma’qul al ma’na. Ini terbukti dari konsep ru’yah mereka, dimana ru’yah tidak harus dengan mata telanjang, tapi diperbolehkan menggunakan alat dan tetap dianggap syah(diterima) dengan syarat alat tersebut untuk memperjelas obyek yang dilihat (a’in al hilal) bukan pantulan . Penggunaan tehnologi ru’yah secara obyektif dijadikan sebagai pendamping untuk memperjelas obyek hilal dan bukan sebagai penentu. Tentunya pemikiran seperti ini dilandasi pertimbangan kemaslahatan untuk menghindari seminimal mungkin kesalahan melihat hilal, karena banyak kasus yang menyatakan orang sering terkecoh dengan obyek venus yang mereka mengira bahwa obyek tersebut hilal.

III. PENUTUP
Merupakan komponen yang tidak dapat diabaikan dalam kajian jurisprudensi Islam (Ilmu Ushul Fiqh) adalah maqasid Syari’ah, yaitu tujuan disyariatkannya Islam. Tujuan syari’at tidak lain adalah ddapat diterapkannya maslahah dunia dan akhirat. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam sering kita temui perubahan hukum karena ketetapan maslahah. Essensi dari maslahah itu adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang merusak. Namun demikian, kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak yang memang dibutuhkan oleh manusia.
Setelah mencermati perbedaan para ulama ushul fiqh tentang kedudukan maslahah dalam hukum Islam, maka sebetulnya antara yang menerima dan menolak sepenuhnya maslahah terdapat titik temu. Nampaknya, kelompok yang menolak lebih menekankan kehati-hatian karena ia hanya mau menerima kemaslahatan yang dikehendaki oleh syara’ dan bukan berdasar pada hawa nafsu dan tidak berarti tanpa memperhatikan persyaratan bagi kelompok yang menerima. Maslahah meruupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting yang memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat.











BIBLIOGRAFI

Asy-syayih, Ahmad Abd Al-rahim, Risalah Fi Ri’ayah Al-Maslahah (libanon: Daar Al-Masdariyah,1992.
Al-ghazali, Abu hamid muhammad ibnu muhammad ibnu muhammad, Al-mustasfa (tt).
Al Amiri, Abdullah M. Alhusayn, Dekonstruksi sumber hukum Islam pemikiran Najm Al-din Al –thufi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Al-khatib,Abdul karim, IJTIHAD menggerakkan potensi Dinamis Hukum Islam terj. Maimun Syamsuddin, Jakarta: Gaya Media Pratama,2005 .
Al-Khallaf,Abdul Wahab,Ilmu Ushul Fiqh terj. Halimuddin, Jakarta:PT. Rineka Cipta,2005.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris hingga emansipatoris( Yogyakarta: LkiS,2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu,1997.
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Ru’yah Menyatukan NU &MUHAMMADIYAH (Jakarta: Erlangga,2007 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Ru’yah Menyatukan NU &MUHAMMADIYAH ,Jakarta: Erlangga,2007
Khallaf, Abdul Wahab Kaidah-kaidah Hukum Islam terj. Noer Iskandar, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1996.
Pusat pengembangan dan pembinaan bahasa ,Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet.2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Romli, Muqaranah Madzahib fi Al-ushul ,Jakarata:Gaya Media Pratama, 1999.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Yasid,Abu, AKADEMIKA Jurnal Studi Keislaman, Surabaya: Program Pascasarjana IAIN sunan Ampel,2005.