Ilmu tidak untuk di Banding-bandingkan dan di kompetisikan tp Ilmu untuk dishare dan diamalkan deng

Sabtu, 27 November 2010

DESKRIPSI PERHITUNGAN WAKTU SHALAT

DENGAN HISAB KONTEMPORER

A. PENDAHULUAN

Shalat merupakan ibadah ummat Islam yang paling utama kepada Allah SWT. Shalat adalah salah satu rukun Islam. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab di hari akhir. Jika shalat seorang hamba itu baik, maka baik pula amal lainnya, dan demikian pula sebaliknya. Ada sejumlah ayat Al Quran yang berhubungan dengan waktu shalat. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa 103). "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnhya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra 78)

Penjelasan mengenai awal dan akhir waktu shalat, yaitu berdasarkan pergerakan matahari, baik di atas ufuk (horison) maupun dampak pergerakan matahari di bawah ufuk. Efek pergerakan matahari diantaranya adalah berubahnya panjang bayangan benda, terbit dan terbenamnya matahari, munculnya mega merah di waktu fajar dan berakhirnya mega merah di malam hari.

Pada hakikatnya, cara menentukan waktu shalat adalah dengan melakukan observasi / pengamatan posisi matahari. Namun dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa melihat posisi matahari, manusia dapat mengetahui kapan datangnya waktu shalat.[1] Diantaranya dengan menggunakan sistem hisab kontemporer. Perhitungan dengan sistem kontemporer adalah Sistem hisab yang menggunakan alat bantu komputer yang canggih menggunakan rumus-rumus yang dikenal dengan istilah algoritma. Beberapa diantaranya terkenal karena memiliki tingkat ketelitian yang tinggi sehingga dikelompokkan dalam High Accuracy Algorithm diantara : Jean Meeus, VSOP87, ELP2000 Chapront-Touse, dsb. dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan sangat akurat seperti Jean Meeus, New Comb, EW Brown, Almanac Nautica, Astronomical Almanac, Mawaqit, Ascript, Astro Info, Starrynight dan banyak software-software falak yang lain.[2] Dalam hal ini penulis akan menyajikan deskripsi dan aplikasi perhitungan sistem kontemporer dengan mengacu pada perhitungan jean meeus dan VSOP87.

Ada beberapa catatan mengenai waktu shalat. Diantaranya rumus penting yang berhubungan dengan waktu shalat,yaitu :

Cos(HourAngle)=[sin(altitude)-sin(lintang)*sin(deklinasi)]/ [cos(lintang)*cos(deklinasi)].

Waktu shalat dapat ditentukan dengan perhitungan menggunakan rumus-rumus pergerakan matahari dengan tepat. Jika Hour Angle diketahui, maka sudut ini dapat dikonversi ke dalam waktu. Dari rumus di atas, ada beberapa parameter penting dalam menentukan waktu shalat untuk suatu tempat tertentu. Pertama, koordinat lintang (latitude) suatu tempat. Kedua, sudut deklinasi matahari yang berubah secara periodik sepanjang tahun. Deklinasi adalah salah satu koordinat dalam sistem koordinat ekuator. Parameter lainnya yang menentukan meskipun tidak disebutkan dalam rumus di atas adalah koordinat bujur (longitude). Bujur suatu tempat berpengaruh pada penentuan waktu untuk tengah hari saat matahari melewati garis meridian setempat. Yang juga berperan penting dalam penentuan waktu untuk tengah hari adalah apa yang disebut Equation of Time. Equation of Time adalah selisih antara waktu saat matahari yang sesungguhnya melewati meridian dengan matahari fiktif yang bergerak dengan laju konstan. Terjadinya selisih ini akibat lintasan matahari mengitari bumi yang tidak berbentuk lingkaran melainkan elips.

Parameter penting dalam penentuan waktu shalat adalah lintang. Untuk daerah dengan lintang tinggi (di daerah sebelah utara 48,5 LU atau sebelah selatan 48,5 LS) dalam rentang waktu tertentu (beberapa hari hingga beberapa bulan), matahari tidak cukup tenggelam di bawah ufuk sepanjang waktu malam. Merujuk pada rumus di atas, untuk nilai Cos(Hour Angle) = 1 atau -1, posisi matahari di bawah ufuk (altitude negatif) tidak cukup tenggelam. Akibatnya, saat malam (yang didefinisikan dari saat matahari terbenam hingga terbit), langit tidak benar-benar gelap. Atmosfer bumi masih mampu membiaskan cahaya matahari sehingga langit masih nampak cukup terang sepanjang malam. Jadi jika hanya menggunakan perhitungan matematis semata, maka waktu isya' dan shubuh tidak dapat ditentukan.

Bahkan dalam kasus yang ekstrem, di daerah yang lintangnya sangat tinggi (sebelah utara 66,5 derajat LU atau sebelah selatan 66,5 derajat LS), matahari tidak pernah terbenam atau tidak pernah terbit selama beberapa hari hingga beberapa bulan. Jika matahari tidak pernah terbenam, akibatnya hanya waktu zhuhur dan ashar yang dapat ditentukan dengan perhitungan matematis. Sedangkan untuk kasus matahari yang tidak pernah terbit, hanya waktu shalat isya' dan shubuh saja yang dapat ditentukan dengan perhitungan yang normal.

B. PEMBAHASAN

a. Waktu Shalat dalam Perspektif syar’i

Sebagai suatu ibadah wajib, shalat harus dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jumhur Ulama’ telah sepakat bahwa salah satu syarat sah shalat adalah melaksanakan shalat setelah mengetahui masuknya waktu. Artinya, apabila waktu shalat telah tiba, maka seseorang wajib melaksanakan shalat. Dalam Al-qur’an telah ditegaskan bahwa shalat yang difardlukan itu mempunyai waktu-waktu tertentu, sebagaimana tercantum dalam dalam QS. An-Nisa’:103.[3]

Secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktûbah) itu telah ditentukan waktunya (sehingga terdefinisi sebagai ibadah muwaqqat). Walaupun tidak dijelaskan secara gamblang waktu pelaksanaanya, namun secara syar’i Al-qur’an telah menentukannya. Sedangkan penjelasan tentang waktu shalat diterangkan secara rinci dalam hadits-hadits nabi. Dari hadits-hadits nabi tentang shalat itulah, para Ulama’ fiqh memberikan batasan-batasan waktu shalat dengan berbagai cara atau metode yang mereka asumsikan untuk menentukan waktu-waktu shalat tersebut. Ada sebagian mereka yang berasumsi bahwa cara menentukan waktu shalat adalah dengan melihat langsung tanda-tanda alam sebagaimana disebutkan secara tekstual dalam hadits-hadits nabi, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’[4] atau miqyasi atau hemisperium.[5] Namun, sebagian ada juga yang memahami secara kontekstual, sesuai dengan maksud dari nash-nash tersebut, dimana awal dan akhir waktu shalat ditentukan oleh posisi matahari dilihat dari suatu tempat di bumi, sehingga metode atau cara yang dipakai adalah hisab( menghitung waktu shalat). Hakikat hisab waktu shalat adalah menghitung kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti disebutkan dalam nash-nash tentang waktu shalat.[6]

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi memberikan kontribusi dalam menentukan waktu shalat. Dalam hal ini, penentuan awal waktu shalat dapat di hisab dengan menggunakan metode hisab kontemporer (dihitung secara astronomis), tanpa melihat fenomena pergerakan matahari lagi. Artinya, umat Islam tidak lagi melaksanakan shalat dengan bersusah payah melihat matahari tergelincir, melihat panjang bayangan suatu benda, melihat matahari terbit dan terbenam ataupun melihat hilangnya mega merah. Tetapi bisa langsung melihat waktu shalat berdasarkan hasil hisab.

b. Waktu-Waktu Shalat fardlu

Waktu-waktu shalat fardlu telah ditentukan dalam sumber-sumber syari’ah yaitu al-qur’an dan sunnah Nabi SAW. Hanya saja dalam al-qur’an tidak disebutkan secara rinci waktu mengerjakan masing-masing shalat fardlu tersebut, melainkan hanya terdapat isyarat-isyarat umum.[7] Berdasarkan ayat-ayat dan hadits Nabi yang membahas tentang ketetntuan waktu shalat fardlu, maka bisa diambil kesimpulan tentang rincian waktu-waktu shalat fardlu sebagai berikut;

1. Waktu Dzuhur

Waktu dzhuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu ashar.[8]Dengan demikian, maka secara ilmu pasti, waktu berkulminasi matahari dapat ditetapkan sebagai batas permulaan waktu dzuhur. Bias juga dikatakan bahwa bila matahari di meridian, maka poros bayang-bayang sebuah benda yang didirikan tegak lurus pada bidang dataran bumi, membuat sudut siku-siku dengan garis timur barat. Jika titik pusat matahari bergerak dari meridian, maka poros bayang –bayang itu berpesong arah ke timur dan sudut yang dibuatnya dengan garis I’tidal (garis timur barat) bukan lagi 90 . Matahari dikatakan sudah “tergelincir”dan awal dzuhur sudah masuk.[9]̊

2. Waktu Ashar

Waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang benda sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya waktu maghrib.[10]

3. Waktu Maghrib

Waktu maghrib dimulai sejak matahari terbenam atau seperti yang disebutkan dalam QS.Hud:114, sebagai”Zulafam minal Lail” yakni bagian permulaan malam yang ditandai dengan terbenamnya matahari sampai datangnya waktu isya’.[11]Dikatakan terbenam apabila-menurut pandangan mata-piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk.[12]

4. Waktu Isya’

Waktu Isya’ mulai masuk, bila warna merah(syafaq al-ahmar) dilangit bagian Barat tempat matahari terbenam sudah hilang sama sekali. Pada waktu matahari terbit atau terbenam, cahaya yang berasal dari matahari sudah terlalu banyak kehilangan unsur-unsurnya yang bergelombang pendek sebelum mencapai mata peninjau. Oleh karena itu, warnanya kelihatan kuning atau malahan kelihatan merah. Jika partikel-partikel pada bagian yang amat tinggi diangkasa itu masih menerima sinar matahari, cahaya merah masih bias dilihat. Bayangan merah sesudah matahari terbenam tidak kelihatan lagi jika matahari sudah berada 18 dibawah ufuk. Jadi jarak zenith pusat matahari sama dengan 108 ̊(batas astronomical twilight). Pada saat itu waktu maghrib berakhir dan masuklah waktu isya’.[13]̊

5. Waktu Shubuh

Waktu shubuh adalah sejak terbit fajar sidiq sampai waktu terbit matahari. Fajar shidiq dalam falak Ilmy dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi). Cahaya ini mulai muncul diufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar 18 dibawah ufuk. Pendapat lain mengatakan bahwa terbitnya fajar shidiq dimulai pada saat posisi matahari 20 dibawah ufuk atau jarak zenith matahari=110 .[14]̊̊̊

c. Data Yang Dibutuhkan Dalam Perhitungan Waktu Shalat

Cara perhitungan waktu shalat dengan menggunakan sejumlah rumus matematika akan disajikan disini. Menentukan waktu shalat fardlu untuk suatu tempat dan tanggal tertentu, ada beberapa parameter yang mesti diketahui :

1. Koordinat lintang tempat (ρ)

Lintang tempat atau lintang geografis /latitude/’urd balad adalah jarak sepanjang meridian bumi yang diukur dari khatulistiwa sampai pada tempat yang dimaksud.[15] Daerah yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif. Yang disebelah selatan, lintangnya negatif.

Misalnya; Madiun memiliki koordinat lintang 7:38:0 derajat LS (7derajat 38 menit busur lintang selatan). Maka ρ = minus (7 + 38 /60) = -7.63333derajat. Fukuoka (Japan) memiliki lintang 33:35 derajat lintang utara (LU). Maka ρ= 33 + 35/60 = 33,5833 derajat.

2. Koordinat bujur tempat (λ)

Bujur tempat / longitude[16] adalah jarak yang diukur sepanjang busur ekuator dari bujur yang melalui kota Greenwich sampai bujur yang melalui tempat tersebut. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich memiliki bujur positif dan sebelah barat Greenwich memiliki bujur negatif.

Misalnya madiun memiliki koordinat bujur 111:31:0 derajat Bujur Timur. Maka λ = 111+ 31/60 = 111.5167 derajat. Sedangkan disebelah barat Greenwich memiliki bujur negatif. Misalnya Los Angeles memiliki koordinat bujur 118:28 derajat Bujur Barat. Maka λ = minus (118 + 28/60) = -118,4667 derajat.

3. Zona waktu tempat (time zone:TZ)[17] dan Koreksi waktu daerah

Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich memiliki Z positif. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7 (seringkali disebut GMT +7), maka TZ = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki Z negatif.

Misalnya zona waktu Madiun adalah UT +7 (seringkali disebut GMT +7), maka TZ = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki TZ negatif. Misalnya, Los Angeles memiliki TZ = -8.

Setelah zona waktu diketahui, maka ketika menentukan jadwal waktu shalat dapat memberikan koreksi untuk masing-masing lokasi, dengan cara =(zona waktu*15-λ tempat)/15). Contoh untuk KWD madiun bias dihitung dengan cara sebagai berikut=

(7*15-111 ̊31 ́)/15=-0.4344444

4. Ketinggian lokasi dari permukaan laut (H). Ketinggian lokasi dari permukaan laut (H) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam, dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan H adalah meter.

Dip terjadi karena ketinggian tempat pengamatan mempengaruhi ufuk atau horizon. Horizon yang teramati pada ketinggian mata sama dengan ketinggian dengan ketinggian permukaan laut, disebut horizon benar (true horizon)atau ufuk hissi. Ufuk ini sejajar dengan ufuk hakiki yang melalui bumi. Horiaon yang teramati oleh mata oleh ketinggian tertentu diatas permukaan laut disebut dengan horizon semu atau ufuk mar’i. Rumus pendekatan untuk menghitung sudut dip (D) adalah . Jika h dinyatakan dalam meter, D karena kecil maka di hitung dalam menit busur. D= 1.76h.[18]

5. Tanggal (D), Bulan (M) dan Tahun (Y) kalender Gregorian.[19] Tanggal (D), bulan (M) dan tahun (Y) tentu saja menjadi parameter, karena kita ingin menentukan waktu shalat pada tanggal tersebut. Dari tanggal, bulan dan tahun tersebut selanjutnya dihitung nilai Julian Day (JD). Saat ini karena Kalender Masehi yang digunakan adalah kalender Gregorian, maka rumus Julian Day adalah

JD= A + B +INT( 30.6001*(M + 1)) + d + C[20]

Dimana

A= 365 x tahun yang dicari- 679004

B= int(tahun yang dicari/400)- int (tahun yang dicari /100)+int(tahun yang dicari/4)

M=bulan yang sudah dikoreksi, dengan ketentuan bila bulan yang dicari ≤3, maka bulan yang dicari harus ditambah 12 dah tahun yang dicari dikurangi 1.

d =hari/tanggal yang dicari

C= 2400000.5

Contoh; tentukan JD pada tanggal 3 juli 2010

A=365*2010-679004 54646

B=INT(2010/400)-INT(2010/100)+INT(2010/4) 487

JD=54646+487+INT(30.6001*(7+1))+3+2400000.5

=2455380.5

Dari nilai JD tersebut, dihitung sudut tanggal T dengan rumus T = (JD - 2451545)/365,25.

Jadi T = (2455380.5 – 2451545)/365.25

= 0.105010267

Sementara itu 2451545 adalah Julian Day untuk tanggal 1 Januari 2000 pukul 12.00 UT. Angka 365,25 adalah banyaknya hari rata-rata dalam setahun. Jadi T menunjukkan sudut tanggal dalam setahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2000 pukul 12.00 UT.

6. Sudut Deklinasi matahari (Delta).

Deklinasi matahari /Mailus Syams adalah jarak sepanjang lingkaran deklinasi dihitung dari ekuaor sampai matahari.[21] Dari sudut tanggal T di atas, deklinasi matahari (Delta)[22] untuk satu tanggal tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut;[23]

Maka sudut deklinasi matahari tanggal 3 juli 2010, dengan mengacu pada hasil T diatas maka penulis menyajikan nya dalam bentuk perhitungan dengan program excel sebagai berikut:[24]

=23+26/60+21.448/3600 23.439 (kolom F8)

=(-46.8150/3600)*0.105010267 -0.001365571 (kolom F9)

=(-0.00059/3600)*0.105010267^2 0.000000001807 (Kolom F10)

=(0.001813/3600)*0.105010267^3 0.00000000058 (kolom F11)

=SUM(F8:F11) 0.40906897( dalam bentuk radians)

=SIN(0.40906897) 0.39775529

= 280.46645 + 36000.76983 * 0.1050127 + 0.0003032*0.10501267^2 4060.916903 =MOD (4060.916903)=100.9169033

=RADIANS(100.9169033)= 1761332233

=SIN(1761332233) 0.98190288

=ASIN(0.39775529*0.98190288) 0.357602241

matahari =DEGREES(0.40123664) 22.9891661

7. Equation of Time (E).

Jika diartikan secara harfiah, Equation of Time berarti Persamaan Waktu. Namun, Equation of Time tidak dapat dimaknai dengan pengertian "Persamaan". Dalam astronomi, kata "Equation" sering merujuk pada adanya koreksi atau selisih antara nilai rata-rata suatu variabel dengan nilai sesungguhnya. Dalam hal ini, Equation of Time berarti adanya selisih antara waktu matahari rata-rata dengan waktu matahari sesungguhnya. Disini, yang dimaksud dengan waktu matahari hakiki adalah waktu yang berdasarkan pada perputaran bumi pada sumbunya yang sehari semalam tidak tentu 24 jam, melainkan kadang kurang dan kadang lebih dari 24 jam. Hal ini dipengaruhi oleh peredaran bumi mmengelilingi matahari berbentuk ellips.[25]

Rumus menghitung

Untuk menghitung equation of time maka terlebih dahulu harus menghitung bujur ekliptik matahari, dengan rumus sebagai berikut=

[26]

= 1761332233

Setelah nilai bujur ekliptik matahari ditemukan maka langkah selanjutnya adalah menghitung equation of time dengan rumus diatas=

_105.8*SIN(1761332233)+596.2*SIN(2*1761332233)+4.4*SIN(3*1761332233)12.7*SIN(4*1.7595937)429*COS(1761332233)2.1*COS(2*1761332233)+19.3*COS(3*176133223)

E= -244.45438 detik/3600

E=-0.06790399

Rumus asal Equation of Time (dalam satuan derajat) yang hanya bergantung pada Julian Day (JD) dan L0. E Dapat dihitung dengan langkah-langkah sebagai berikut;

  • U = (JD - 2451545)/36525
  • L0 (bersatuan derajat) = 280,46607 + 36000,7698*U
  • 1000*EoT = -(1789 + 237*U)*SIN(L0) - (7146 - 62*U)*COS(L0) + (9934 - 14*U)*SIN(2*L0) - (29 + 5*U)*COS(2*L0) + (74 + 10*U)*SIN(3*L0) + (320 - 4*U)*COS(3*L0) - 212*SIN(4*L0), setelah hasil didapat maka hasil dibagi 1000 untuk mendapatkan EOT

Contoh menghitung Equation of time untuk tanggal 3 juli 2010, dengan rumus diatas , maka bisa diperoleh hasil EoT sebagai berikut;

U=(2455380.4-2451545)/36525 0.105007529

LO=280,46607 + 36000,7698*0.105007529 4060.817952

EOT = -5.28 menit

8. Altitude matahari /tinggi matahari

Tinggi matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran vertical dihitung dari ufuk sampai matahari. Dalam ilmu falak biasa juga disebut dengan irtifa’us syams dan diberi notasi dengan huruf “h” kecil. Tinggi matahari bertanda positif apabila posisi matahari berada diatas ufuk dan bertanda negative apabila matahari berada dibawah ufuk.[27]

Untuk tinggi matahari pada waktu shalat fardlu dapat diberi kesimpulan sebagai berikut;[28]

- Waktu dzuhur =dimeridian: ( matahari sedang berkulminasi)

- Waktu ashar

Bila matahari sedang berkulminasi bayang-bayang sebuah tongkat yang terpancang tegak lurus diatas tanah akan mempunyai panjang tertentu. Jika matahari dalam perjalanan hariannya bergerak arah ke barat,ujung byang-bayang itu bergerak perlahan-lahan ke timur, dalam pada itu ukuran panjang bayang-bayang tongkat itu berangsur-angsur bertambah pula . Pada suatu waktu panjang bayang-bayang suatu tongkat itu bertambah dengan sepanjang tongkat itu sendiri, bila dibandingkan dengan panjangnya sewaktu matahari sedang berkulminasi. Pada saat itulah waktu ashar mulai masuk. Tinggi matahari pada saat itu dinamakan tinggi ashar.[29]

Tetapan panjang bayangan Ashar disini ada dua pendapat. Pendapat madzhab Syafi'i menyatakan panjang bayangan benda saat Ashar = tinggi benda + panjang bayangan saat Zhuhur. Sementara pendapat madzhab Hanafi menyatakan panjang bayangan benda saat Ashar = dua kali tinggi benda + panjang bayangan saat Zhuhur.[30]

- Waktu Maghrib

Waktu maghrib dalam ilmu falak berarti saat terbenamnya matahari, dimana seluruh piringan matahari berdiameter 32 menit busur, setengahnya berarti 16 menit busur, selain itu didekat horizon terdapat refraksi yang menyebabkan kedudukan matahari lebih tinggi dari kenyataan sebenarnya yang diasumsikan 34 menit busur. Koreksi semidiameter piringan matahari dan refraksi terhadap jarak zenit matahari saat matahari terbit atau terbenam sebesar 50 menit dan dalam ilmu falak dapat didefinisikan bila jarak jarak zenith matahari mencapai Zm=90 50 ́.[31]̊

- Waktu Isya

Saat Isya' disebut dusk astronomical twilight ketika langit tampak gelap karena cahaya matahari di bawah ufuk tidak dapat lagi dibiaskan oleh atmosfer. Waktu isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah dibagian langit sebelah barat. Pada saat itu matahari berkedudukan 18 dibawah ufuk sebelah barat atau bila jarak zenith matahari =108 .[32] Dalam perhitungannya tinggi matahari untuk maghrib di konversi dari bentuk derajat menjadi menit dengan cara sebagai berikut=(-18 ̊*60)=-1080.̊̊

- Waktu shubuh

Shubuh saat fajar menyingsing pagi disebut dawn astronomical twilight yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi mampu membiaskan cahaya matahari dari bawah ufuk. Dalam referensi standar astronomi, sudut altitude untuk astronomical twilight adalah 18 derajat di bawah ufuk, atau sama dengan minus 18 derajat. Ada dua jenis twilight yang lain, yaitu civil twilight dan nautical twilight masing-masing sebesar 6 dan 12 derajat di bawah ufuk.

Namun demikian ada beberapa pendapat mengenai sudut altitude matahari di bawah ufuk saat Shubuh dan Isya'. Diantaranya berkisar antara 15 hingga 20 derajat. Dengan demikian, perbedaan sudut yang digunakan akan menyebabkan perbedaan kapan datangnya waktu Shubuh dan Isya'. Untuk Wilayah Indonesia tinggi matahari yang dijadikan patokan Depag untuk jadwal waktu shalat shubuh adalah 20 dibawah ufuk, dengan menkonversikan nya dari bentuk derajat ke menit(-20 *60)=-12.00̊̊

9. Ikhtiyat

Yang dimaksud dengan ikhtiyat adalah suatu langkah pengamanan dalam menentukan waktu shalat dengan cara menambahkan atau mengurangkan waktu agar tidak mendahului awal waktu shalat dan tidak melampaui batas akhir waktu shalat.Para penyusun jadwal berbeda-beda dalam menetapkan berapa menit waktu yang dijadikan sebagai langkah pengamanan ini. Ada yang 2 menit, 4menit dan sebagainya.[33]

C. APLIKASI RUMUS WAKTU SHALAT

Secara umum, rumus untuk menentukan waktu shalat adalah =12-E+h+kwd+i. Dari data- data yang diperlukan dalam perhitungan waktu shalat sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat dilakukan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut yang dalam hal ini penulis mengambil contoh lokasi Madiun:

Sin ф Madiun =SIN(RADIANS(-7.6333333)) = -0.132833034

Cos ф Madiun==COS(RADIANS(-7.6333333)) =0.991138429

Sin Matahari =SIN(0.40123664 ) =0.390557065

Cos Matahari =COS(0.40123664) = 0.92057872

Langkah selanjutnya adalah mencari SIN dari ketinggian waktu shalat dengan merubahnya ke bentuk radians;

SIN altitude Fajar h -20 ̊ = SIN(RADIANS(-1200/60))= -0.342020143

Syuruq h 50menit = SIN(RADIANS(-50/60)) =-0.014543898

Dluha h 4,5 ̊ = SIN(RADIANS(270/60)) =0.078459096

Dzuhur

Ashar = SIN(RADIANS(-1928.146/60))=0.531927207

Maghrib h-50menit = SIN(RADIANS(-50 /60)) =-0.014543898

Isya’ h -18 ̊ = SIN(RADIANS(-1080/60))=-0.309016994

Perhitungan dilanjutkan dengan cara;

Fajar =(SIN fajar-SIN *SIN ρ)/COS *COS ρ)

=(-0.342020143- 0.390557065*-0.132833034)/( 0.92057872 *0.991138429)

=-0.317990578

Syuruq =(SIN Syuruq-SIN ρ* SIN )/(COS ρ*COS )

=(-0.014543898--0.132833034 *0.390557065)/( 0.991138429 *0.92057872)

=0.040918594

Dluha =(SIN Dluha-SIN ρ* SIN )/(COS ρ*COS )

=( 0.078459096--0.132833034 *0.390557065)/( 0.991138429 *0.92057872)

=0.142848513

Dzuhur

Ashar =(SIN Ashar-SIN ρ* SIN )/(COS ρ*COS )

=(0.531927207 ---0.132833034 *0.390557065)/( 0.991138429 *0.92057872)

=0.639842925

Maghrib =(SIN Maghrib-SIN ρ* SIN )/(COS ρ*COS )

=(-0.014543898--0.132833034 *0.390557065)/( 0.991138429 *0.92057872)

=0.040918594

Isya =(SIN Isya’-SIN ρ* SIN )/(COS ρ*COS )

=(-0.309016994--0.132833034 *0.390557065)/( 0.991138429 *0.92057872)

=-0.281819609

Menghitung h dengan cara;

Fajar =ACOS(-0.317990578)*12/PI()=7.236096465 Jam

Syuruq =ACOS(0.040918594)*12/PI()=5.843658836 Jam

Dluha =ACOS(0.142848513)*12/PI()=5.843658836 Jam

Dzuhur

Ashar =ACOS(0.639842925)*12/PI()=3.347992813 Jam

Maghrib =ACOS(0.040918594)*12/PI()=5.843658836 Jam

Isya’ =ACOS(-0.281819609)*12/PI()=7.09125565 Jam

Data yang telah dihitung diatas kemudian di masukkan dalam rumus penentuan waktu shalat

=12-E+h+kwd+I, maka waktu masing-masing shalat fardlu dapat diperoleh;

1. Waktu fajar

=12-E-h+KWD+I

=12-(-0.06790399)- 7.236096465 +(-0.4344)+0.0333

=4.430696418

2. Waktu syuruq

=12-E-h+KWD

=12-(-0.06790399)- 5.843658836 +(-0.4344)

=5.789800714

3. Waktu Dluha

=12-E-h+KWD+I

=12-(-0.06790399)- 5.843658836+(-0.4344)+0.0333

=6.214306959

4. Waktu Dzuhur

=12-E+KWD+I

=12-(-0.06790399)+(-0.4344)+0.0333

=11.667

5. Waktu Ashar

=12-E+h+KWD+I

=12-(-0.06790399)+ 3.347992813+(-0.4344)+0.0333

=15.0147857

6. Waktu Maghrib

=12-E+h+KWD+I

=12-(-0.06790399)+ 5.843658836+(-0.4344)+0.0333

=17.51045172

7. Waktu Isya’

=12-E+h+KWD+I

=12-(-0.06790399)+ 7.09125565 +(-0.4344)+0.0333

=18.75804853

Untuk menentukan h ashar, maka terlebih dahulu hitunglah SIN dzuhur agar diperoleh panjang bayang-bayang benda, dengan cara sebagai berikut;

SIN a_ Dzuhur =COS ρ*COS +SIN ρ*SIN

=COS -7.6333333*COS 0.92057872+ SIN-0.132833034*SIN 0.390557065

=0.860542066

a_ Dzuhur =ASIN(0.860542066)

=1.036332887

TAN a_ Ashar =1/(1/TAN(1.036332887)+1) Rumus TAN ashar ini berlaku untuk memperoleh 1x panjang benda sesuai dengan madzhab Syafi’I, dan jika menghendaki madzhab Hanafi maka tinggal menambah 2 agar diperoleh 2x panjang bayang benda.

=0.628168913

a_Ashar =DEGREES(ATAN(0.628168913))

=32.13576115

Berdasarkan hasil perhitungan rumus penentuan waktu shalat diatas, maka penulis dapat menyajikan jadwal shalat untuk daerah Madiun pada tanggal 3 juli 2010 dalam bentuk bagan/ table sebagai berikut;

Waktu (WIB)

Jam

Menit

Fajar

04

26

Syuruq

05

47

Dluha

06

13

Dzuhur

11

40

Ashar

15

01

Maghrib

17

31

Isya’

18

45

* Zhuhur = 12 + Z - B/15 - ET/60


* Ashar = Zhuhur + (Hour Angle Ashar)/15
* Maghrib = Zhuhur + (Hour Angle Maghrib)/15
* Isya' = Zhuhur + (Hour Angle Isya')/15
* Shubuh = Zhuhur - (Hour Angle Shubuh)/15
* Terbit Matahari = Zhuhur - (Hour Angle Terbit Matahari)/15

Dari rumus di atas, nampak bahwa waktu shalat bergantung pada Hour Angle. Rumus Hour Angle (HA) adalah

COS(HA) = [SIN(Altitude) - SIN(Lintang)*SIN(Delta)]/[COS(Lintang)*COS(Delta)]

sehingga

Hour Angle = ACOS(COS(HA)).

Rumus Hour Angle dii atas bergantung pada Altitude. Altitude matahari atau sudut ketinggian matahari dari ufuk inilah yang berbeda nilainya untuk setiap waktu shalat.

* Untuk Ashar, Altitudenya = ARCCOT(KA + TAN(ABS(Delta - Lintang))), dimana KA = 1 untuk Syafi'i dan 2 untuk Hanafi. Lambang ABS menunjukkan nilai absolut atau nilai mutlak. Misalnya, ABS(-2) = ABS(2) = 2.
* Untuk Maghrib, Altitude = 0,8333 - 0,0347*SQRT(H) dimana SQRT menunjukkan lambang akar pangkat dua, dan H = ketinggian di atas permukaan laut.
* Untuk Isya', Altitude = minus(Sudut Isya'). Jika sudut Isya' diambil 18 derajat, maka Altitude Isya' = -18 derajat.
* Untuk Shubuh, Altitude = minus(Sudut Shubuh).
* Untuk Terbit Matahari, Altitudenya sama dengan Altitude untuk Maghrib.

CONTOH: Tentukan waktu-waktu shalat pada tanggal 12 Juni 2009 di Jakarta (L = -6,166667 derajat, B = 106,85 derajat, Z = 7, H = 50 meter). Sudut Subuh = 20 derajat. Sudut Isya' = 18 derajat. Ashar menggunakan madzhab Syafi'i (KA = 1).

Jawab:

* Pertama kali, tentukan dahulu Julian Day untuk 12 Juni 2009 pukul 12 UT. Dari tanggal tersebut diperoleh nilai D = 12, M = 6, Y = 2009, A = 20 dan B = -13. Dapat dihitung nilai JD = 2454995,0.
* Selanjutnya untuk tanggal 12 Juni 2009 pukul 12 WIB (waktu lokal di Jakarta), JD = 2454995,0
EZ/24 = 2454995,0 E7/24 = 2454994,708.
* Sudut Tanggal T = 2*PI*(2454994,708 - 2451545)/365,25 = 59,34334487 radian.
* Deklinasi Matahari atau Delta = 23,16099835 derajat
* Sementara itu U = (2454994,708 - 2451545)/36525 = 0,094447867.
* Bujur rata-rata matahari L0 = 3680.66198 derajat = 80,66198 derajat.
* Untuk Equation of Time, akhirnya dapat dihitung 1000*ET = 175 menit sehingga ET = 0,175 menit.

Dari data-data perhitungan di atas, kini waktu shalat dapat dihitung.

Waktu Zhuhur adalah 12 + Z - B/15 - ET/60 = 12 + 7 - 106,85/15 - 0,175/60 = pukul 11,87375 WIB. Jika nilai ini dikonversi ke jam-menit-detik, diperoleh pukul 11:52:26 WIB.

Waktu Ashar (madzhab Syafii).

* Altitude Ashar adalah ARCCOT(1 + TAN(ABS(23,16099835 - (-6,166667)))) = 32,63075274 derajat.
* COS(Hour Angle Ashar) = [SIN(32,63075274) - SIN(-6,166667)*SIN(23,16099835)] / [COS(-6,166667)*COS(23,16099835)] = 0,636127253.
* Hour Angle Ashar = ACOS(0,636127253) = 50,496359 derajat.
* Jadi Waktu Ashar = Zhuhur + (Hour Angle Ashar)/15 = 11,87375 + 50,496359/15 = pukul 15,24017 sama dengan pukul 15:14:25 WIB.

Waktu Maghrib.

* COS(Hour Angle Maghrib) = [SIN(-0,833 - 0,0347*SQRT(50)) - SIN(-6,166667)*SIN(23,16099835)] / [COS(-6,166667)*COS(23,16099835)] = 0,025627029.
* Hour Angle Maghrib = ACOS(0,025627029) = 88,53151863 derajat.
* Waktu Maghrib = Zhuhur + (Hour Angle Maghrib)/15 = 11,87375 + 88,53151863/15 = pukul 17,77585 sama dengan pukul 17:46:33 WIB.

Waktu Isya'.

* COS(Hour Angle Isya') = [SIN(-18) - SIN(-6,166667)*SIN(23,16099835)] / [COS(-6,166667)*COS(23,16099835)] = -0,291840581.
* Hour Angle Isya' = ACOS(-0,291840581) = 106,9681811 derajat.
* Waktu Isya' = Zhuhur + (Hour Angle Isya')/15 = 11,87375 + 106,9681811/15 = pukul 19,00496 sama dengan pukul 19:00:18 WIB.

Waktu Shubuh.

* COS(Hour Angle Shubuh) = [SIN(-20) - SIN(-6,166667)*SIN(23,16099835)] / [COS(-6,166667)*COS(23,16099835)] = -0,327945769.
* Hour Angle Shubuh = ACOS(-0,327945769) = 109,441394 derajat.
* Waktu Shubuh = Zhuhur - (Hour Angle Shubuh)/15 = 11,87375 - 109,1441394/15 = pukul 4,59748 sama dengan pukul 4:35:51 WIB.

Waktu Terbit Matahari.

* COS(Hour Angle Terbit Matahari) = [SIN(-0,833 - 0,0347*SQRT(50)) - SIN(-6,166667)*SIN(23,16099835)] / [COS(-6,166667)*COS(23,16099835)] = 0,025627029.
* Hour Angle Terbit Matahari = ACOS(0,025627029) = 88,53151863 derajat.
* Waktu Terbit Matahari = Zhuhur - (Hour Angle Terbit Matahari)/15 = 11,87375 - 88,53151863/15 = pukul 5,97165 sama dengan pukul 5:58:18 WIB.

Sebagai rangkuman, jadwal waktu shalat di Jakarta pada tanggal 12 Juni 2009 dengan data pendukung seperti tertera pada soal di atas adalah sebagai berikut.

* Shubuh pukul 4:35:51 WIB.
* Terbit Matahari pukul 5:58:18 WIB.
* Zhuhur pukul 11:52:26 WIB.
* Ashar pukul 15:14:25 WIB.
* Maghrib 17:46:33 WIB.
* Isya' pukul 19:00:18 WIB.

Berikut ini beberapa catatan tambahan untuk melengkapi pemahaman tentang cara penghitungan waktu shalat.

Pertama, rumus di atas sudah akurat untuk menentukan waktu shalat. Sebagai pembanding, penulis menjadikan software Accurate Times karya Mohamad Odeh sebagai patokan. Software tersebut menggunakan algoritma VSOP87 untuk pergerakan matahari dan algoritma ELP2000 untuk pergerakan bulan. Kedua algoritma tersebut adalah algoritma terakurat untuk menentukan pergerakan kedua benda langit tersebut. Menurut Accurate Times, untuk kasus yang sama seperti di atas, waktu shalat di Jakarta pada tanggal 12 Juni 2009 berturut-turut adalah Shubuh (4:35:56), Terbit Matahari (5:58:13), Zhuhur (11:52:24), Ashar (15:14:32), Maghrib (17:46:35) dan Isya' (19:00:21). Jika hasil perhitungan di atas dibandingkan dengan Accurate Times, perbedaannya berkisar antara 2 hingga 7 detik. Ini sudah cukup akurat.

Kedua, bagi penulis secara pribadi, nilai perbedaan beberapa detik di atas masih bisa diperkecil lagi, dengan memperhatikan sejumlah catatan. Hasil perhitungan di atas menggunakan nilai Deklinasi Matahari dan Equation of Time yang sama untuk semua waktu shalat, yaitu nilai pada pukul 12.00 waktu lokal. Padahal, nilai deklinasi matahari maupun equation of time selalu berubah setiap saat, meskipun cukup kecil perubahannya dalam rentang satu hari. Sebagai contoh pada kasus di atas, Deklinasi Matahari pada waktu Shubuh dan Isya' berturut-turut adalah 23,14178926 (atau 23:08:30) derajat dan 23,1792171 (atau 23:10:45) derajat. Perbedaannya adalah sekitar 2 menit busur.

Dengan demikian, rumus di atas masih dapat diperhalus atau dikoreksi lebih baik lagi, jika untuk setiap waktu shalat, nilai Deklinasi Matahari serta Equation of Time yang digunakan sesuai dengan nilainya saat waktu shalat tersebut.

Misalnya, untuk waktu shalat Isya', digunakan Deklinasi Matahari dan Equation of Time pada waktu shalat Isya' pula, bukan pada pukul 12.00 waktu lokal. Pertama kali tentukan dulu Perkiraan Hour Angle yang diperoleh dengan data Delta maupun Equation of Time saat pukul 12.00 waktu lokal. Dari Perkiraan Hour Angle ini dicari perkiraan waktu Isya'. Perkiraan waktu Isya' ini selanjutnya dikonversi ke Julian Day yang kemudian dapat dipakai untuk menghitung Delta dan Equation of Time. Begitu seterusnya diulangi satu hingga beberapa kali hingga diperoleh angka yang konvergen (tetap). Pada akhirnya rumusnya untuk waktu shalat Isya secara lengkap adalah

Waktu Shalat Isya' = 12 + Z - B/15 - (ET saat Isya')/60 + (Hour Angle Isya')/15

dimana COS(Hour Angle Isya') = [SIN(-1*Sudut Isya') - SIN(Lintang)*SIN(Delta saat Isya')] / [COS(Lintang)*COS(Delta saat Isya')].

Dengan sejumlah faktor koreksi, termasuk koreksi dari pembiasan atmosfer yang akan disajikan di bawah ini, waktu shalat menjadi lebih akurat lagi. Hasilnya adalah Shubuh (4:35:47), Terbit matahari (5:58:14), Zhuhur (11:52:25), Ashar (15:14:34), Maghrib (17:46:36) dan Isya' (19:00:22). Perbedaannya, dibandingkan dengan Accurate Times menjadi hanya antara 1-2 detik saja.

Koreksi yang lain juga dapat dilakukan pada penentuan waktu shalat Ashar. Akibat pembiasan sinar matahari oleh atmosfer bumi, altitude benda langit yang sebenarnya lebih rendah daripada altitude yang nampak. Saat waktu Ashar tiba, yang diamati adalah pusat matahari yang nampak, padahal pusat matahari yang sebenarnya sedikit lebih rendah. Yang kita hitung seharusnya adalah posisi matahari yang sebenarnya, sehingga pada akhirnya, koreksi ini membuat waktu Ashar menjadi sedikit lebih lambat. Ini dapat dengan mudah dipahami karena matahari beranjak untuk turun sehingga dibutuhkan waktu agar altitudenya berkurang. Pembahasan lengkap mengenai faktor koreksi altitude benda langit oleh atmosfer Insya Allah dibahas pada kesempatan lain.

Ketiga, koreksi oleh atmosfer ini sudah digunakan pada penentuan waktu Maghrib dan terbit matahari. Pada kedua kejadian tersebut, altitude yang nampak adalah nol derajat. Namun dalam perhitungan, altitudenya bukan nol derajat tetapi -0,8333 derajat atau minus 50 menit busur. Angka ini bersumber dari dua hal. Pertama, sudut untuk jari-jari matahari secara rata-rata adalah 16 menit busur. Kedua, besarnya koreksi pembiasan atmosfer saat benda langit berada di ufuk (saat terbit atau terbenam) rata-rata sebesar 34 menit busur. Jika dijumlahkan keduanya menghasilkan 50 menit busur di bawah ufuk, atau altitudenya minus 50 menit busur. Angka ini sudah cukup akurat. Jika ingin lebih akurat lagi, dapat diperhitungkan faktor berubahnya sudut untuk jari-jari matahari, karena nilai ini bergantung pada jarak matahari ke bumi yang tidak selalu tetap. Jika matahari berjarak cukup jauh dari bumi, maka sudut untuk jari-jari matahari bernilai lebih kecil. Demikian juga besarnya koreksi pembiasan atmosfer yang juga bergantung pada suhu maupun tekanan udara. Namun demikian untuk keperluan praktis, altitude minus 0,8333 derajat sudah cukup memadai.

Keempat, pada rumus terbit matahari (sunrise) maupun waktu Maghrib (sunset), faktor ketinggian lokasi H di atas permukaan laut juga sudah diperhitungkan. Seseorang yang berada cukup tinggi di atas permukaan laut akan menyaksikan sunrise yang lebih awal serta sunset yang lebih telat, dibandingkan dengan orang yang berada di permukaan laut. Sebenarnya H bisa juga bernilai negatif, atau ketinggiannya lebih rendah daripada permukaan laut. Untuk kasus ini, suku -0,0347*SQRT(H) pada altitude sedikit berubah menjadi +0,0347*SQRT(-H), sehingga orang yang berada di daerah yang lebih rendah dari permukaan laut akan menyaksikan sunrise yang lebih telat serta sunset yang lebih awal. Namun karena rata-rata tempat yang dihuni manusia berada di atas permukaan laut, kasus terakhir ini tidak perlu dibahas secara detail.

Kelima, dengan beragamnya pendapat mengenai besarnya sudut Shubuh maupun Isya', karena itu tentu saja dimungkinkan terjadinya perbedaan waktu Shubuh dan Isya'. Pada soal di atas dengan sudut Shubuh 20 derajat (altitude = -20 derajat), waktu Shubuh adalah pukul 4:35:51 WIB. Sepengetahuan penulis, angka 20 derajat ini biasa yang digunakan di Indonesia. Jika dipakai sudut standar astronomical twilight 18 derajat, maka waktu Shubuh datang lebih lambat, yaitu pukul 4:44:33 WIB. Ternyata perbedaan 2 derajat berimplikasi pada perbedaan waktu sekitar 8 menit. Belum lagi, jika digunakan tambahan waktu untuk faktor kehati-hatian (ikhtiyath), mulai dari 1, 2, 3 menit dan seterusnya. Sudah banyak kajian fiqh maupun astronomis mengenai waktu Shubuh dan Isya', dan nampaknya belum memungkinkan untuk disajikan di artikel singkat ini.

Keenam, dari perumusan untuk Hour Angle

COS(HA) = [SIN(Altitude) - SIN(Lintang)*SIN(Delta)]/[COS(Lintang)*COS(Delta)]

maka sangat mungkin jika nilai COS(HA) lebih besar dari 1 atau lebih kecil dari -1. Padahal nilai COS berkisar antara -1 hingga 1. Jika demikian, Hour Angle tidak dapat ditentukan. Ini terjadi khususnya pada daerah lintang tinggi. Singkatnya, ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, dalam penentuan waktu Shubuh dan Isya', nilai COS(HA) < -1. Akibatnya waktu Shubuh dan Isya' tidak dapat ditentukan menurut rumus di atas. Yang terjadi adalah, di waktu malam hari, bahkan pukul 12 malam, langit masih nampak terang walaupun tidak ada matahari. Suasana langit seperti halnya di tengah-tengah waktu Maghrib. Kemungkinan kedua, untuk kasus terbit dan terbenam matahari, COS(Hour Angle) < -1. Untuk kasus ini, matahari tidak pernah terbenam.

Matahari selalu berada di atas ufuk, sehingga dengan rumus biasa di atas, waktu Shubuh, terbit matahari, Maghrib dan Isya' tidak dapat ditentukan. Hanya waktu Zhuhur dan Ashar saja yang bisa diperoleh. Dalam hal ini, sebuah kejadian unik dapat terjadi, yaitu ketika pergantian hari pada pukul
00:00:00 atau pukul "12 malam", matahari tengah bersinar di atas ufuk.

Kemungkinan ketiga, untuk kasus terbit dan terbenam matahari, COS(Hour Angle) > 1. Dalam hal ini, matahari tidak pernah terbit karena selalu berada di bawah ufuk. Hanya waktu Shubuh dan Isya' saja yang dapat ditentukan dengan rumus di atas. Selama 24 jam, hanya ada dua keadaan langit. Antara waktu Shubuh dan Isya', langit tidak begitu gelap, layaknya waktu Maghrib. Sebaliknya, antara waktu Isya' dan Shubuh, langit gelap.

Bersamaan dengan tulisan ini, penulis melampirkan file Microsoft Excel yang berisi rumus waktu shalat di atas, baik untuk versi simpel, maupun dengan tambahan beberapa koreksi.

file tersebut rumus-rumus dapat diikuti prosesnya. Bagi yang tertarik, silakan mendownload di

http://www.4shared.com/file/111278266/2fa23c50/Waktu-Shalat.html

Daftar Pustaka














[1] Rinto Anugraha, http://www.eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/waktu-waktu-shalat.htm), diakses pada tanggal 21 mei 2010.

[3] Dahlia Hali’ah Ma’u, Makalah:”Waktu shalat Fardlu” (Semarang: IAIN walisongo, 2010),4.

[4] Tongkat istiwa’ dikenal pula dengan sundial atau orang jawa menyebutnya bencet. Yang dinamakan tongkat matahari adalah sebuah tiang atau tongkat yang ditanam tegak diatas pelataran yang digunakan untuk mengetahui ketinggian matahari melalui bayang-bayangnya. Dimana dalam catatan sejarah, manusia telah menggunakannya di Mesir sekitar 3.500 tahun yang lalu, yang dipakai sebagai jam untuk mengawali, mengakhiri atau mengulangi suatu pekerjaan. Baca izzudin, A.,(2006: 55).

[5] Hemisperium adalah salah satu bentuk alat untuk membaca sudut jam matahari. Secara umum alat yang dilengkapi sebuah bidang di mana sudut jam matahari dapat dibaca melalui bayangan benda yang disebut jam matahari atau sundial. Ibid.

[6] Ahmad,Izzudin, Fiqih Hisab Rukyah menyatukan NU & MUHAMMADIYAH dalam penentuan AWAL RAMADHAN, IDUL FITRI, dan IDUL ADHA, (Jakarta: Erlangga,2007), 38.

[7] Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah( Yogyakarta:PP. Muhammadiyah, 2009),44.

[8] Susiknan azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern” (Yogyakarta:Suara Muhammadiyah,2007), 64.

[9] Abd Rachim,ilmu Falak,(Yogyakarta:Liberty,1983),23.

[10] Azhari, Ilmu falak..,64. Waktu ashar dimulai selama matahari belum menguning dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, dan Tirmidzi dari jabir bin Abdullah R.a disebutkan ashar dimulai bila panjang bayang sama dengan bendanya sampai sebelum terbenamnya matahari. Maskufa,Ilmu falaq(Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 98.

[11] Ibid.

[12] Muhyiddin, Khazin,Ilmu Falak dalam teori dan Praktek(Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004),90.

[13] Abd. Rachim, Ilmu Falak,,,39.

[14] Azhari, Ilmu Falak,,68.

[15] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008), 134.

[16] Ibid,47.

[17] Pemabagian wilayah/zona waktu untuk Indonesia berdasarkan Kepres RI No.243 1963, dibagi menjadi 3 wilayah: untuk WIB( GMT+ 7 jam), WITA(GMT+8 Jam), WIT( GMT+9 jam).Azhari, Ilmu Falak…,202.

[18] Khafid,“ Koreksi-koreksi yang diperlukan dalam perhitungan teliti”,Materi kuliah hisab kontemporer konsentrasi ilmu falak IAIN Walisongo semarang,2010.

[19] Terjadinya perubahan kalender Julian menjadi kalender Gregorian disebabkan adanya selisih antara panjang satu tahun dalam kalender Julian dengan panjang rata-rata tahun tropis (tropical year). Satu tahun kalender Julian adalah 365,2500 hari. Sementara panjang rata-rata tahun tropis adalah 365,2422 [2]. Berarti dalam satu tahun terdapat selisih 0,0078 hari atau hanya sekitar 11 menit. Namun, selisih ini akan menjadi satu hari dalam jangka 128 tahun. Jadi dalam ratusan atau ribuan tahun, selisih ini menjadi signifikan hingga beberapa hari. Jika dihitung dari tahun 325 M (saat Konsili Nicaea menetapkan musim semi atau vernal ekuinoks jatuh pada 21 Maret) sampai dengan tahun 1582, terdapat selisih sebanyak (1582 - 325) X 0,0078 hari = 9,8 hari atau hampir 10 hari. Dan ini dibuktikan dengan musim semi pada tahun 1582 M, dimana vernal ekuinoks jatuh pada tanggal 11 Maret, bukan sekitar tanggal 21 Maret seperti biasanya. Karena itulah, saat kalender Gregorian ditetapkan, tanggal melompat sebanyak 10 hari. Tanggal setelah 4 Oktober 1582 bukan 5 Oktober tetapi 15 Oktober 1582. Baca di http://www.eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/kalender-julian-kalender-gregorian-dan-julian-day.htm diakses pada tanggal 27 mei 2010.

[20] Khafid,Menentukan hari dengan Julian date” materi kuliah hisab kontemporer, konsentrasi Ilmu falak IAIN Walisongo Semarang 2010. Baca dan bandingkan juga di Karrtunen P. Kroger dkk, “Fundamental astronomy”(New York: Springer, 1996), 40.

[21] Muhyiddin, Khazin,Ilmu Falak,,65.

[22] Namun perlu diketahui, rotasi bumi tidaklah konstan sepanjang waktu. Rotasi bumi perlahan-lahan melambat dan tidak teratur. Karena itu UT bukanlah waktu yang seragam (uniform). Sementara itu astronom memerlukan skala waktu yang seragam untuk keperluan perhitungan astronomis. Karena itu diperkenalkan sistem waktu yang seragam yaitu Dynamical Time (disingkat TD, bukan DT). Selisih antara TD dengan UT adalah Delta_T yang dirumuskan sebagai Delta_T = TD – UT. Nilai Delta_T ini hanya bisa ditentukan lewat observasi. Observasi untuk menentukan Delta_T telah dilakukan orang sejak sekitar tahun 1620 M hingga saat ini. Tahun 1620, Delta_T sekitar 124 detik. Tahun 1800 sekitar 14 detik. Tahun 2000 sekitar 64 detik. Tahun 2009 sekitar 66 detik. Di luar rentang waktu itu, orang hanya bisa membuat perkiraan atau ekstrapolasi. Beberapa rumus untuk menentukan Delta_T adalah sebagai berikut. Perlu diketahui, ada pula rumus perkiraan Delta_T yang lain.

Sebelum tahun 948M : Delta_T=2715,6 + 573,36*T + 46,5*T*T[detik]
Antara tahun 948–1600M :Delta_T= 50,6 + 67,5*T + 22,5*T*T[detik]
DisiniT=(Tahun-2000)/100.
Contoh: Tahun 632 M. Maka T = (632 - 2000)/100 = -13,68. Delta_T = 3574 detik. Baca di website http://www.eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/macam-macam-waktu.htm, diakses pada tanggal 17 mei 2010.

[23] Khafid, Rumus Transformasi”Deklinasi” materi kuliah hisab kontemporer, konsentrasi Ilmu falak IAIN Walisongo Semarang 2010.

[24] Khafid, “menghitung Deklinasi matahari” materi kuliah hisab kontemporer, konsentrasi Ilmu falak IAIN Walisongo Semarang 2010. Baca dan bandingkan dengan Rumus Delta = 0,37877 + 23,264*SIN(57,297*T - 79,547) + 0,3812*SIN(2*57,297*T - 82,682) + 0,17132*SIN(3*57,297*T - 59,722) di website http://www.eramuslim.com/syariah/ilmu-hisab/macam-macam-waktu.htm, diakses pada tanggal 17 mei 2010.

[25] Muhyiddin khazin,Ilmu Falak,,67.

[26] Khafid, Rumus menghitung bujur ekliptik matahari” materi kuliah hisab kontemporer, konsentrasi Ilmu falak IAIN Walisongo Semarang 2010.

[27] Muhyiddin khazin, Ilmu Falak,,,80.

[28] Abd Rachim, Ilmu Falak,,,40.

[29] Ibid, 24

[31] Susiknan azhari, Ilmu Falak,,67.

[32] Ibid,,68.

[33] Depag RI, Pedoman Penentuan jadwal waktu shalat sepanjang masa, (Jakarta: Direktorat Pembinaan BPAI, 1995), 9.

1 komentar:

  1. pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam

    BalasHapus