Ilmu tidak untuk di Banding-bandingkan dan di kompetisikan tp Ilmu untuk dishare dan diamalkan deng

Sabtu, 13 Maret 2010

HUKUM SUMPAH BAGI ORANG YANG MELIHAT HILAL KURANG DARI DUA DERAJAT
I. PENDAHULUAN
Dalam terminologi hukum Islam, Ijtihad adalah sebuah usaha sungguh-sungguh para Ulama’ dengan menggunakan akalnya untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum ditetapkan secara Qath’I ( pasti) didalam Al-qur’an dan Sunnah . Ijtihad menjadi sumber hukum ketiga setelah Al-qur’an dan sunnah. Kesaksian melihat hilal (ru’yah al-hilal), keputusan hisab, dan akhirnya keputusan penetapan awal Ramadlan dan hari raya oleh pemimpin umat ,semuanya adalah ijtihad. Kebenaran hasil ijtihad adalah relatife, sedangkan kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil Syari’ah dan bukti empirik yang diperoleh.
Kesaksian ru’yah tidak mutlak kebenarannya. Mata manusia bisa saja salah lihat. Mungkin yang dikira hilal sebenarnya obyek lain. Keyakinan bahwa yang dilihatnya benar-benar hilal harus didukung pengetahuan dan pengalaman tentang pengamatan hilal. Hilal itu sangat redup dan sulit mengidentifikasikannya , karena mungkin hanya tampak seperti garis tipis. Saat ini satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain tentang kesaksian itu adalah sumpah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jaminan kebenaran Ru’yah Al-hilal hanya kepercayaan pada pengamat yang kadang-kadang tidak bisa diulangi oleh orang lain.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang kesaksian orang yang menyaksikan hilal, terutama yang terkait dengan sumpah dari orang yang melihat hilal kurang dari dua derajat, dimana dua derajat merupakan standar minimal yang ditetapkan oleh sebagian ulama’. Apakah kesaksian seperti itu bisa diterima atau tidak, selengkapnya hal tersebut akan dibahas dalam bab pembahasan.

II. PEMBAHASAN
A. DEFINISI SUMPAH
Dalam bahasa arab sumpah disebut dengan Al-ayman, Al-half, Al-Ila’, dan Al-qasam. Disebut Al-ayman (jamak dari al-yamin:tangan kanan) karena orang-orang arab dizaman jahiliyah bila mereka bersumpah satu sama lain saling berpegangan tangan kanan. Kata Al-yamin secara etimologis dikaitkan dengan tangan kanan, al-quwwah (kekuatan), dan Al-qasam(sumpah). Dikaitkan dengan kata Al-quwwah karena orang yang ingin mengatakan sesuatu dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataan itu lebih kuat sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari pada tangan kiri .

Menurut syara’ sumpah adalah mentahqiqkan sesuatu atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah atau dengan salah satu sifatnya. Sedangkan Secara terminologis, sumpah memiliki beberapa arti :
1.) Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi pada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan.
2.) Pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan tersebut tidak benar.
3.) Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Bersumpah untuk suatu kepentingan tertentu disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah :225
              
” Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
B. HUKUM SUMPAH

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum sumpah, diantaranya:- Madzhab maliki, mengatakan: ”Hukum asal dari sumpah adalah jaiz. Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan sesuatu masalah keagamaan atau untuk mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan agama atau larangan yang dilarang agama. Jika hukum sumpah itu dihukumi mubah, maka melanggarnya pun mubah tetapi harus membayar kaffarat (denda) kecuali jika melakukan pelanggaran sumpah itu lebih baik. Madzhab Hanbali:”Hukum sumpah tergantung keadaanya, bisa wajib, haram, makruh ,sunnah atau mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan maka sumpah hukumnya wajib. Madzhab Syafi’i: ”Hukum sumpah asalnya makruh. Tapi bisa saja sumpah hukumnya sunnah(mandub), wajib, haram, atau mubah tergantung pada keadaanya. Madzhab hanafi:”Asal hukumnya jaiz tapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah.

C. MACAM-MACAM SUMPAH
a. Yamin al-laghwu, yaitu sumpah yang diucapkan tanpa ada niat untuk bersumpah. Pelanggaran atas sumpah ini tidak berdosa dan tidak wajib membayar kaffarat.
b. Yamin al-muaqqidah, yaitu sumpah yang memang diniatkan untuk bersumpah. Sumpah semacam ini wajib dilaksanakan , jika dilanggar harus bayar kaffarat.
c. Yamin al-ghamus, yaitu sumpah dusta yang mengakibatkan hak-hak orang tak terlindungi atau sumpah yang dimaksudkan untuk berbuat fasiq dan khianat. Sumpah semacam ini termasuk salah satu bentuk dosa besar.
Menurut Sayyid Sabiq, pelanggaran sumpah ini pelakunya tidak wajib membayar kaffarat, tetapi wajib bertaubat. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, Imam Ahmad Ibn Hanbal, pelaku pelanggaran sumpah ini wajib membayar kaffarat.
Adapun Syarat-syarat sumpah, diantaranya harus memenuhi empat hal berikut ini : 1.)Menyebut nama Allah atau salah satu sifatnya 2.) mukallaf 3.) tidak karena terpaksa 4.) sengaja (niat untuk bersumpah). Sedangkan kaffarat terhadap pelanggaran sumpah :- memerdekakan budak, -memberi makan 10 orang fakir miskin (per orang 1 mud:3/4 liter),-memberi pakaian 10 orang fakir miskin (per orang 1 lembar). Jika ketiga kaffarat diatas tak ada satupun yang sanggup dilakukan, maka ia boleh menggantinya dengan puasa 3 hari.

D. KESAKSIAN HILAL MENURUT PENDAPAT BEBERAPA ULAMA
Tentang Ru’yah Al-hilal, para ahli fiqih berbeda pendapat:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa cukupnya persaksian seorang yang adil. Hal ini berdasar pada hadits Ibnu umar. Ia berkata: ”Orang-orang berusaha melihat hilal. Maka aku menceritakan pada nabi bahwa aku melihatnya, dan rasul SAW pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa . Para Ulama berkata, Penetapan dengan dasar keadilan seorang laki-laki lebih hati-hati untuk memulai ibadah.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa syarat ru’yah harus dilakukan oleh dua orang yang adil . Hal ini berdasar pada riwayat al-husain bin harits al-hadhly. Ia berkata: kami berbincang dengan gubernur makkah, al-harits bin Hatib. Ia berkata pada kami, Rasul SAW memerintah kita untuk ibadah puasa karena melihat hilal. Jika kita tidak melihatnya, namun ada dua orang adil yang bersaksi bahwa mereka menyaksikannya, kita berpuasa karena kesaksianya.
3. Persaksian yang mensyaratkan sekelompok masyarakat, mereka adalah pengikut hanafi, yakni pada saat terang benderang. Adapun mengenai jumlah orang banyak, hal ini dikembalikan kepada pendapat imam atau hakim, tanpa menentukan jumlah tertentu.
Berikut adalah pendapat beberapa madzhab terkait dengan kriteria kesaksian hilal:
a. Madzhab Hanafi
Jika langit bersih dari hal-hal yang menghalangi penglihatan maka haruslah dengan penglihatan yang pemberitahuan mereka memberikan keyakinan . Kriteria banyak diserahkan oleh pendapat Imam. Jika langit tidak bersih dari penghalang maka kesaksian satu orang yang menyatakan telah melihat hilal bisa dipegangi bila ia seorang muslim, adil, berakal dan baligh. Tidak ada perbedaan antara kesaksian laki-laki dan perempuan, merdeka atau budak.
Jika hilal dilihat oleh satu orang yang tergolong syah kesaksianya kemudian ia mengabarkan kepada satu orang lain yang juga syah kesaksianya , maka hakim boleh mengambil kesaksian dari orang yang mendapat kabar tersebut. Wajib atas orang yang melihat hilal itu untuk bersaksi didepan hakim jika ia dikota dan jika ia tinggal didesa maka wajib baginya bersaksi dihadapan orang banyak dimasjid.
b. Madzhab Syafi’I
Ramadlan ditetapkan berdasarkan penglihatan orang yang adil, baik langit cerah maupun tidak. Orang yang memberi kesaksian disyaratkan Muslim, berakal, baligh ,merdeka, laki-laki dan adil sekalipun secara lahiriyah. Tidak wajib berpuasa atas keseluruhan orang kecuali bila hakim menerima kesaksian itu dan mengesahkanya. Wajib atas orang yang melihat hilal itu sendiri untuk berpuasa walaupun Ia tidak memberi kesaksian dihadapan hakim atau Ia memberi kesaksian tetapi hakim tidak menerimanya.
c. Madzhab Maliki
Hilal Ramadlan ditetapkan berdasarkan penglihatan , penglihatan tersebut terdiri dari tiga macam:
Pertama, penglihatan oleh dua orang yang adil yaitu laki-laki, merdeka ,baligh, berakal, tidak melakukan dosa besar, tidak sering melakukan dosa kecil dan juga tidak mengerjakan hal-hal yang bisa merusak wibawa.
Kedua, Penglihatan oleh orang banyak yang pemberitahuanya memberikan keyakinan dan mustahil mereka berbuat dusta.
Ketiga, Penglihatan oleh satu orang, namun ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri, atau orang yang dikabari yang orang itu tidak mempunyai perhatian terhadap masalah hilal ,jika ia memiliki perhatian maka tidak berlaku atasnya kesaksian satu orang.

d. Madzhab Hanbali
Menetapkan terlihatnya hilal Ramadlan harus dengan kabar orang mukallaf yang adil secara lahir dan bathin. Menurut Abu bakar-ahli fiqh dari kalangan madzhab hanbali-mengatakan:”jika seseorang melihat hilal ditempat yang ramai (jama’ah/semua masyarakat umum bisa melihat) maka harus disaksikan dua orang, tetapi bila dalam keadaan safar(bepergian), maka kesaksian oleh satu orang bisa diterima. Mengenai kesaksian seorang wanita, ada 2 pendapat:
-Kesaksian wanita bisa diterima, karena hal itu termasuk khabar keagamaan .
-Kesaksian satu wanita tidak bisa diterima, bila terdapat seorang laki-laki. Karena Ia termasuk saksi far’u, dan asal dari kesaksian adalah saksi ashl.
Wajib puasa atas orang yang mendengar seorang adil yang mengabari terlihatnya hilal Ramadlan, walaupun hakim menolak kabarnya karena tidak mengetahui kabarnya. Orang yang melihat hilal tidak wajib pergi kepada hakim, masjid, sebagaimana tidak wajib pula atas nya untuk mengabari atas orang-orang.
Dalam upaya mewujudkan terciptanya persatuan, pendapat Hanafi lah yang lebih cocok untuk digunakan. Mengenai keberlakuan ru’yah, Jumhur ulama’ kecuali Syafi’I sepakat bahwa jika adanya hilal telah dapat diakui salah satu wilayah. Maka wajib puasa atas seluruh penduduk wilayah tersebut.

Bertitik tolak pada kenyataan bahwa sulitnya pelaksanaan ru’yah dan beragamnya penetapan hilal dengan ru’yah ,maka tidak semua ru’yah dapat dijadikan pedoman dalam penetapan bulan. Perbedaan dikalangan ahli ru’yah sendiri, antara lain adalah kesaksian mana yang dapat diterima, apakah harus disumpah, berapa batas minimal orang yang melihat hilal, apakah hasil hilal harus didukung oleh hisab sehingga jika hasil nya bertentangan dengan hasil hisab maka harus ditolak . Untuk dapat dijadikan sebagai pedoman harus memenuhi syarat-syarat ,yaitu:
1. Hilal disaksikan oleh orang yang memenuhi syarat melakukan ru’yah, minimal harus adil dan Islam.
2. Penetapan awal bulan Ramadlan minimal harus ada seorang saksi dan Untuk awal syawal minimal harus dengan dua orang saksi.
Para fuqaha berselisih pendapat bahwa diperbolehkan berbuka ketika hilal hanya dipersaksikan oleh satu orang. Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa tidak boleh berbuka. Dan Imam Malik mengatakan : barang siapa berbuka ,sedang ia melihat bulan sendirian , maka wajib atasnya menqadla’ puasanya dan membayar kaffarat. Sedangkan Abu Hanifah hanya mewajibkan menqadla’ puasanya saja. Fuqaha berselisih pendapat tentang bilangan dan sifat pembawa berita yang memungkinkan diterimanya pemberitaan mereka tentang ru’yah. Imam Malik berpendapat bahwa tidak boleh berpuasa atau berbuka dengan persaksian kurang dari dua orang saksi yang adil. Sedang Imam syafi’I mengatakan boleh berpuasa berdasarkan persaksian seorang laki-laki atas ru’yah tetapi tidak boleh diakhiri puasa berdasarkan persaksian kurang dari dua orang laki-laki. Imam Abu Hanifah berkata: bila langit tertutup awan maka persaksian seorang laki-laki dapat diterima. Tetapi jika langit cerah dikota besar maka hanya persaksian orang banyaklah yang dapat diterima .
Alasan fuqaha yang memisah-misahkan antara hilal puasa dan berbuka , maka hal itu didasarkan pada Saadz Al-Dzari’ah ( yakni penyumbatan jalan yang mengarah kepada kerusakan ), agar orang-orang fasiq tidak mengaku-ngaku telah melihat hilal, kemudian mereka berbuka, padahal mereka belum melihatnya. Oleh karena itu Imam syafi’I mengatakan jika orang yang mengaku melihat hilal khawatir terkena tuduhan, hendaklah ia menahan untuk berbuka ,tetapi Ia menganggap dirinya telah berbuka.
3. Keadaan langit harus bersih dari hal-hal yang dapat menghalangi terlihatnya hilal karena ru’yah hanya dilakukan dalam keadaan langit bersih atau cerah.
4. Keterangan saksi, meskipun sederhana tapi harus meyakinkan seperti arah dan bentuk hilal.
5. Adanya dukungan hisab.
Jika hisab ingin dijadikan penentu, maka akan timbul perselisihan dikalangan ulama sendiri, khususnya dari kalangan syafi’iyah, karena kalangan malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah tidak dapat menerima hisab secara mutlak, baik untuk perorangan maupun dalam lingkup umum bagi seluruh umat Islam. Imam Subky, Abbady, dan qalyubi mewakili pendapat yang mendukung tuntutan hisab. Imam subki (w. 756H) mengatakan: jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin, maka kesaksian tersebut ditolak, sebab hisab mempunyai nilai Qath’I , sedang nilai persaksian hanya merupakan persangkaan kuat dan persangkaan kuat tidak dapat mengalahkan sesuatu yang memiliki nilai pasti. Syarat bukti adalah jika persaksian nya mungkin secara indrawi, logika, dan syariat.
Qalyubi menambahkan, pendapat imam subki tersebut sangat jelas, dan menolaknya adalah suatu kesombongan. (Mu’anadah mukbarah). Namun, pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama yang dimotori oleh Imam Ramli, dan Al-khatib syarbini : Menurut pendapat yang mu’tamad ( yang harus dijadikan pegangan), Syahadahlah yang harus diterima, karena hisab telah diabaikan oleh syari’at. Menanggapi pendapat tersebut, Imam Ibnu hajar memberikan jalan tengah dengan penjelasan sebagai berikut: Syahadah dapat ditolak jika semua ahli hisab sepakat, Namun jika tidak terjadi kesepakatan maka syahadah tidak dapat ditolak. Al hafidz Ibnul hajar menambahkan “untuk diterimanya hasil ru’yah bergantung pada kejujuran orang yang melakukannya dan kami tidak berani meyakini kejujurannya, sebelum ia bersumpah. Kalau ia tidak berani atau tidak mau disumpah maka kesaksiannya tidak dapat diterima” .
E. Kriteria visibilitas Hilal
Penentuan kriteria penampakan hilal sudah lama dilakukan ,sejak zaman Babilonia . Menurut mereka berdasarkan pengamatanya selama bertahun-tahun hilal mulai dapat dilihat setelah umur bulan lebih dari 24 jam setelah konjungsi (Ijtima’). Dalam hal ini ulama’pun berbeda pendapat ,Ulama’ Mutaqaddimin mengatakan bahwa kriteria minimal Irtifa’ (tinggi hilal) harus mencapai 9 derajat ,namun ada yang mengatakan irtifa’ mencapai 7 atau sedikitnya 6 derajat. Adapun ulama Mutaakhirin mereka memungkinkan dari dua derajat atau lebih dari dua derajat, sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syekh Mahmud.
Dalam kitab Fath Al-Rauf Manan, sebagaimana yang dikutip oleh Izzudin diterangkan : jika kurang kriterianya sedikit saja, hilal sulit untuk diru’yah. Abdul jalil bin Abdul Hamid pengarang kitab tersebut mengatakan , Para Ulama berbeda pendapat tentang batas ru’yah. Sebagian menetapkan apabila cahayanya sebesar 1/5 jari ( 12 menit jari) sedangkan busur mukutsnya 3 derajat, sebagian menetapkan tingginya 6 derajat. Pendapat lain juga mengatakan bahwa hilal akan dapat dilihat bila busur mukutsnya lebih 11 derajat.
Melihat fenomena tersebut, bisa disimpulkan bahwa masalah Imkan Al-ru’yah (kemungkinan hilal bisa dilihat) sudah muncul sejak perkembangan Ilmu Hisab, yakni sekitar tahun 1800 an Masehi.
Berdasarkan data yang ada, dalam hal ini DEPAG menggunakan kriteria tinggi hilal minimum 2 derajat diatas ufuk Mar’I sebagai patokan awal bulan. Kriteria inipun juga tidak selalu diikuti karena meskipun tinggi hilal kurang dari dua derajat, tetapi kalau ada laporan keberhasilan ru’yah yang syah maka laporan tersebut akan dijadikan patokan untuk penetapan awal bulan. Seperti apa yang terjadi pada tanggal 1 oktober 1970, DEPAG menerima laporan bahwa hilal dapat dilihat sehingga menetapkan 1 Ramadlan 1390 H jatuh pada 31 oktober 1970 dimana berdasarkan hisab ketinggian hilal pada saat matahari terbenam adalah 0 13’ 34” dan jarak sudut antara bulan dan matahari 0 7’ 39” ,jadi posisi hilal diatas ufuk masih dibawah 2 derajat.
Namun, perlu diketahui bahwa mengingat pentingnya kriteria Imkan Al-Ru’yah tersebut , maka pemerintah dalam hal ini DEPARTEMEN AGAMA merasa memberikan solusi alternatif dengan menawarkan kriteria yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini juga didorong oleh keputusan Musyawarah Kerja Hisab Ru’yah tahun 1997/ 1998 di Ciawi Bogor yang meminta diadakan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang Imkan Al-ru’yah. Oleh karena itu ,pada bulan maret 1998 dilakukan pertemuan dan musyawarah para ahli hisab dari berbagai ormas Islam , yang juga diikuti oleh ahli astronomi dan instansi terkait. Dan pertemuan itu menghasilkan keputusan:
1. Penentuan awal bulan Qamariyah didasarkan pada Imkan Al-ru’yah, sekalipun tidak ada laporan ru’yah Al-hilal.
2. Imkan Al-ru’yah yang dimaksud didasarkan pada tinggi hilal 2 derajat dan umur bulan 8 jam dari saat Ijtima’saat matahari terbenam .
3. Ketinggian yang dimaksud berdasarkan hasil perhitungan sistem hisab Haqiqi Tahqiqi.
4. Laporan Ru’yah hilal yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak.
Dari keputusan tersebut , ada satu keputusan yang (terkesan ) tidak tegas yakni “Laporan Ru’yah hilal yang kurang dari 2 derajat dapat ditolak”. Kata “dapat”dalam keputusan ini kiranya tampak tidak memberikan ketegasan tetapi memberikan kelonggaran. Disamping itu, kriteria Imkan Al-rukyah tersebut dasarnya juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (hanya berdasarkan adat kebiasaan.). Oleh karena itu ,harus dicarikan solusi alternatif yakni menemukan kriteria Imkan Al-rukyah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mazhab yang berupaya bagaimana mendapatkan hasil penetapan dimana data hisabnya sesuai dengan pelaksanaan rukyah , sedangkan rukyahnya tepat sasaran sesuai dengan data hisabnya secara ilmiah. Dengan penerapan:
a. Jika menurut data hisab Imkan Al-rukyah sudah dinyatakan mungkin untuk dirukyah tapi praktik dilapangan tidak dapat diru’yah dan hal ini bukan disebabkan mendung atau gangguan cuaca , maka dasar yang dipakai adalah hisab.
b. Jika sudah dinyatakan mungkin untuk diru’yah , tapi praktik dilapangan tidak dapat diru’yah dan hal ini disebabkan mendung atau gangguan cuaca , maka dasar yang dipakai adalah Istikmal.
c. Dan jika dinyatakan tidak mungkin untuk dirukyah maka dasar yang dipakai adalah prinsip rukyah yakni disempurnakan tiga puluh hari (istikmal).
Menurut T. Djamaluddin, kriteria Imkan Al ru’yah yang dipegang oleh DEPARTEMEN AGAMA RI masih perlu direvisi. kriteria Imkan Al ru’yah tersebut, yakni tinggi hilal 2 derajat, jarak dari matahari minimal 3 derajat atau umur bulan saat matahari terbenam minimal 8 jam, harus disempurnakan dalam dua hal: yakni jarak bulan dari matahari semula minimal 3 derajat menjadi 5,6 derajat, kemudian ketinggian hilal minimal tidak lagi seragam selalu 2 derajat tetapi harus memperhatikan beda Azimuth bulan matahari .
Kriteria hisab–rukyah adalah jalan tengah untuk mempersatukan metode hisab rukyah tanpa memaksakan salah satu pihak beralih kepada metode lainnya. Upaya penyatuan kriteria didukung dengan keluarnya fatwa MUI nomor 2 / 2004 tentang penetapan awal Ramadlan, Syawal, dan dzulhijjah. Fatwa MUI menyatakan bahwa penentuan awal Ramadlan, Syawal, dan dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah ( pengamatan hilal, bulan tsabit purnama) dan hisab( perhitungan astronomi) oleh pemerintah dan berlaku secara nasional. Otoritas diberikan kepada pemerintah sebagai “ulil Amri” yang wajib ditaati secara syari’at.
G. KETERLIBATAN IPTEK DALAM PELAKSANAAN RU’YAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP SUMPAH
Persoalan hisab ru’yah awal bulan qamariyah pada dasarnya bersumber pada hadits-hadits hisab ru’yah. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna dhahir hadits tersebut sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Pemahaman terhadap makna hadits ada yang menganggap ru’yah itu bersifat ta’abbudi-ghair al-ma’qul ma’na-artinya tidak dapat dirasionalkan sehingga pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan dan hanya terbatas pada melihat dengan mata telanjang. Dipihak lain ada yang memaknai hadits itu bersifat ta’aqquli-ma’qul al-ma’na-yakni dapat dirasionalkan, sehingga dapat diperluas dan dapat dikembangkan (dengan menggunakan alat) . Modernisasi hisab ru’yah kini sudah mulai dilakukan. Walaupun sebagai penentu, ilmu hisab astronomi kini telah diterima sebagian besar ormas Islam sebagai alat bantu. Teleskop pun sekarang sudah tidak lagi diharamkan untuk ru’yah, yang sebelumnya penggunaan kaca matapun dipermasalahkan . Pada prinsipnya ulama tidak berkeberatan atas ikutsertanya iptek dalam proses penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah. Hanya yang harus dipahami adalah syari’ah tidak ingin memberatkan umat, khususnya dalam masalah ibadah.
Ru’yah bil fi’li dengan menggunakan alat (nadzarah)memang belum ada kesepakatan diantara para ulama. Namun demikian, setidaknya ada beberapa pendapat yang dapat diajukan sebagai acuan :
1. pendapat Ibnu Hajar yang menyatakan tidak boleh ru’yah dengan menggunakan alat sebangsa kaca (nahwi mir’atin). (Tuhfatul Muhtaj,3: 382)
2. Pendapat Asy-syarwani yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kaca adalah sebangsa air, ballur (benda yang berwarna putihseperti kaca), dan alat yang mendekatkan yang jauh atau memperbesar yang kecil. Namun, kemudian Asy-syarwani mengemukakan pendapat nya sendiri bahwa walaupun menggunakan alat tetap masih bisa disebut sebagai ru’yah. (Hasyiatus Asysyarwani,3:332)
3. Pendapat yang lebih tegas dikemukakan oleh al-Muthi’i. Ia menyatakan: ru’yah bil fi’li dengan menggunakan alat (nadzarah) tetap dapat diterima karena yang terlihat melalui alat tersebut adalah hilal itu sendiri(’ainul hilal) bukan yang lain. Fungsi alat hanya untuk membantu penglihatan dalam melihat alat yang jauh atau sesuatu yang kecil.
Dalam hal ini, pemikiran Nahdlatul Ulama-yang disebut sebgai madzhab ru’yah-tidak sepenuhnya bersifat ta’abbudi-ghair al-ma’qul ma’na, ini terbukti dari konsep ru’yah mereka, dimana ru’yah tidak harus dengan mata telanjang, tapi diperbolehkan menggunakan alat dan tetap dianggap sah(diterima) dengan syarat alat tersebut untuk memperjelas objek yang dilihat(’ain al-hilal) bukan pantulan, dan sepanjang ahli hisab tidak sepakat bahwa posisi hilal masih berada di bawah ufuk. Pendapat NU ini didasarkan pada pemikiran Imam Bakhit al-Muthi’i dalam kitab Irsyad ahli Milal .
Menanggapi pelaksanaan Ru’yah bil nadzari (menggunakan alat),salah lihat hilal sering terjadi karena kurangnya pengalaman. Ada yang mengira tehnologi ru’yah yang masih tradisional harus diperbaharui. Teleskop atau binokuler harus digunakan, bahkan sempat muncul gagasan teleskop ru’yat yang yang janggal secara astronomi. Semua teleskop memang untuk ru’yah(observasi), hanya saja sampai saat ini belum ada filter atau detektor yang khusus untuk melihat hilal yang berbeda dari pengamatan objek malam lainnya.
Di Amerika Serikat pernah dilaporkan kesaksian melihat hilal, bahkan dengan menggunakan teleskop, namun setelah diperiksa ternyata yang dilihatnya bukanlah hilal, tetapi tsabitnya planet venus. Bagi orang awam, bentuk tsabit sering dianggap hilal tanpa memperhitungkan ukurannya . Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sering kali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Sumpah saja dirasa tidak cukup, namun orang yang bersaksi melihat hilal harus tahu persis bagaimana bentuk dan posisi hilal secara pasti. Dan terkait dengan ru’yah yang dalam pelaksanaanya melibatkan tehnologi, maka penulis berpendapat masih diperlukannya sumpah sebagai sarana penguat sebuah pernyataan kesaksian. Berdasarkan fakta diatas, ternyata ru’yah yang dilakukan dengan teleskop pun masih rawan dengan kesalahan dan disinilah diperlukan sumpah sebgai penguatnya.

H. REDEFINISI HILAL SEBAGAI FAKTA ILMIAH DAN SEBAGAI PRODUK TAFSIR
Dari sekian banyak dalil al-qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang hisab-ru’yah, pokok masalah yang utama adalah tidak adanya petunjuk operasional yang jelas, rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Tentu ini ada hikmahnya, umat Islam dengan demikian ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci, dan menguantitaskan pedoman umum dalam nass al-Qur’an dan hadits. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan disegala tempat, semuanya bersifat dinamis.
Umat Islam terus-menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari penafsiran makna tersirat dari nass Al-qur’an dan hadits dan pendapat ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan pemikiran pada zamannya. Misalnya, sekian lama kita berdebat soal makna”Ru’yah” sehingga kemudian muncul ungkapan”ru’yah bil qalbi, bil ’Ilmi, dan ru’yah bil’ain. Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul hilal atau tidak sahnya ru’yah pakai alat yang bersifat memantulkan cahaya. Pemisahan ru’yah dan hisab, penggunaan hisab wujudul hilal atau kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2 derajat adalah representasi bentuk simplikasi permasalahan yang kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran yang final oleh sebagian masyarakat .
TEKS DAN KONTEKS NASS
Perdebatan seputar penetapan Ramadhan-Syawal & Dzulhijjah yang telah banyak menguras energi umat Islam, esensinya berpulang pada interpretasi nash (baik al-Qur'an maupun al-Hadits). Jika ditelusuri secara cermat, baik rukyat maupun hisab keduanya sama-sama menggunakan dalil yang sama, namun kesimpulan yang dihasilkan berbeda sesuai cara telaah (wajhu istidlâl) masing-masing. Diantara ayat yang menjadi landasan epistimologis tentang hal ini adalah QS. Al-Baqarah : 184. (barangsiapa menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa). Perbedaan penafsiran terletak pada prase 'syahida' yang biasa diartikan dengan menyaksikan. Bagi aliran rukyat, 'syahida' diartikan menyaksikan dengan mata semata, beralasan sejalan dengan tata cara pembuktian perkara di pengadilan, seseorang dapat menjadi saksi utama bila ia melihat kejadian secara langsung .
Sebaliknya, aliran hisab memaknai prase 'syahida' secara lebih rasional. Penyaksian sesuatu tidak harus dengan mata-kepala, memadai dengan mengarah kepada kebenaran hakiki. Seseorang menyatakan persaksian akan adanya Allah S.w.t., sekalipun tidak melihat dengan mata kepala, namun ia harus dan tetap meyakini keberadaan dan kekuasaan Allah swt. Persaksian terjadinya fenomena alam, yakin keteraturan alam ini terjadi karena memang ada yang mengaturnya, selain dengan keyakinan, juga dapat terbuktikan melalui peranan Ilmu Pengetahuan dengan memahami berbagai teori ilmu, inipun disebut penyaksian.
Sementara itu, hadits Nabi S.a.w. "shumu liru'yatihi wa afthiru liru'yatihi fa in ghumma 'alaikum..." dengan beragam penggalan redaksi akhir, mulai dari; fa atimmu al-'iddah tsalatsin, fa shumu tsalatsin, faqdurulah, aqdiru lahu tsalatsin, fa 'uddu tsalatsin, dll. juga menjadi landasan epistimologis dalam persoalan penetapan awal-awal bulan Qamariyah. Melihat dengan mata kepala, agaknya telah menjadi kesepakatan mayoritas para ulama dalam memaknai hadis ini. Namun, perdebatan dan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini senantiasa ada dan ramai, dari dulu hingga kini, dari ulama klasik sampai ulama & ilmuan modern. Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H), Ibnu al-Majdi (w. 850 H), Ibnu Daqiq al-'Id (w. 702 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), as-Syarwani (w... ?), al-Qalyubi (w. 1069 H), al-'Umairah (w... ?), Thanthawi Jawhari (w... ?), Rasyid Ridha (w... ?), Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377 H), Dr.Yusuf al-Qaradhawi, Dr.Ali Jumu'ah, dll. adalah sederetan ulama klasik dan kontemporer yang sedikit berbeda dengan jumhur, yang memberi ruang terhadap penggunaan fasilitas modern (baca: ilmu hisab-falak) dalam menetapkan awal-awal bulan Qamariyah. Mereka berapologi bahwa majunya peradaban manusia yang diiringi pula dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hadits-hadits di atas dapat di re-aktualisasi-kan dalam konteks kekinian dan kedisinian .
FAKTA ILMIAH RU’YAH
Penerapan rukyat hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariyah, setidaknya akan bersentuhan pada beberapa keadaan baku yang menjadi karakteristik hilal awal bulan, yaitu ;
1. Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal negatif). Dalam keadaan ini, hilal mustahil terlihat, dan setiap kesaksian tertolak.
2. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari. Dalam keadaan ini, ada kemungkinan hilal terlihat, namun bergantung ketinggiannya di atas ufuk.
3. Hilal terlihat setelah terbenamnya Matahri sebelum terjadinya itjima' (konjungsi). Hal ini belum terhitung awal bulan dan masih terhitung sebagai hilal akhir bulan. (fenomena ini terhitung sebagai kejadian yang ganjil dan jarang terjadi).
4. Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah), maka dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.
5. Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari, sementara itu diwilayah lain sebaliknya. Maka dalam hal ini, setiap wilayah berlaku mathla' masing-masing berlandaskan pada hadits Kuraib.
6. Bulan terbenam sebelum terbenamnya Matahari di sebagian wilayah, sementara di wilayah lain sebaliknya. Maka, rukyah berlaku pada mabda' (mathla') masing-masing, dan terkadang, point 4, 5, dan 6 dikembalikan kepada penguasa sebagai ulil amri. (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Nahwu Shiyaghah Mabady' at-Taqwim al-Islamy al-'Alamy, h. 18).
Enam keadaan diatas merupakan fakta ilmiah rukyat yang hendaknya dipahami secara baik. Dan dalam aktifitas rukyat hilal –sebagaimana tertera dalam buku-buku fikih maupun hadits- sama dimaklumi perlu adanya saksi adil. Cukup beragam kriteria yang ditawarkan fuqaha' dalam hal ini, ringkasnya; 1] Sehat badan dan pikiran. 2] Jelas penglihatan. 3] Jujur & terpercaya. 4] Memahami teks dan konteks ilmiah rukyat, yang keempat syarat ini dikemas dengan sumpah.
Ringkasnya, apa, bagaimana, berapa, berapa lama, kapan dan dimana hilal itu ? Deretan pertanyaan teknis hilal ini hendaknya terlebih dahulu dipahami secara baik oleh para perukyat. Namun kenyataan di lapangan, banyak perukyat yang tidak memahami hal-hal teknis ini, yang terjadi hanyalah tunduk patuh terhadap literalis hadits tanpa riset dan reserv ilmiah. Hadits Nabi Saw. memang sederhana, namun menuntut praktek tepat yang terkait dengan tiga fenomena alami benda angkasa (Bulan, Bumi dan Matahari). Rasul Saw. memang tidak pernah menanyakan serinci dan se-eksplisit ini, karena ketika itu sarana satu-satunya hanyalah pengamatan, dan sahabat pun lihai dan piawai dengan fenomena langit .
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi ”hilal”yang integral antar hisab dan ru’yah dengan riset ilmiah yang terbuka. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri dan selalu terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru. Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, dirinci,dan dikuantitaskan diantaranya adalah definisi mengenai hilal. Definisi hilal bis beragam,tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana ru’yah tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil tehnologi baru. Hilal juga harus terdefinisi dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya dapat dirumuskan, hilal adalah bulan tsabit pertama yang teramati diufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis ditepi lautan bulan yang mengarah ke matahari .
Pendekatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap kebumi beberapa saat setelah ijtima’. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisab nya bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan. Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan kriteria wujudul hilal patut dihargai, itu merupakan syarat perlu untuk munculnya hilal . tetapi syarat itu belum cukup. Sedangkan NU dalam hal penentuan awal bulan, menetapkan nya harus dengan ru’yah bil fi’li dengan melihat secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih berada dibawah ufuk, mereka tetap meru’yah untuk kemudian dilakukan istikmal. Hisab dijadikan sebagai alat bantu, dan bukan penentu. Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dan bisa dismpulkan bahwa definisi hilal bukan semata-mata hilal ”syariat” yang diyakini benarnya menurut sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah .

I.PELAPORAN HASIL RU’YAH DAN PENGAMBILAN SUMPAH DI INDONESIA
Ru’yah Al-hilal di Indonesia dilaksanakan secara terorganisasi, yaitu Departemen Agama memberikan instruksi kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama seluruh Indonesia untuk diteruskan kepada jajaran dibawahnya agar melakukan ru’yah didaerah masing-masing bersama-sama dengan pengadilan Agama, ormas Islam, pesantren, lembaga terkait dan masyarakat luas dengan koordinator ada pada Departemen Agama yang bersangkutan. Bagi kelompok masyarakat yang tidak bisa melakukan ru’yah bersama-sama dengan Departemen Agama, hendaknya memberitahukan kepada Departemen Agama agar pelaksanaan ru’yatnya terpantau oleh Departemen agama .
Apabila ada yang berhasil melihat hilal, maka sebelum dilaporkan ke Departemen agama Pusat hendaklah peru’yah yang bersangkutan diambil sumpah terlebih dahulu oleh Hakim Agama yang sudah dipersiapkan dan kemudian barulah hasil ru’yah itu dilaporkan oleh koordinator kepada Departemen agama Pusat, bisa melalui telp atau fax yang sudah tersedia. Pengadilan Agama berdasarkan pasal 52A UU 3/2006 mempunyai kewenangan dalam mengitsbat kesaksian ru’yah. Penetapan hasil ru’yah akan dipakai oleh Menteri agama dalam mengitsbat awal Ramadlan dan / hari raya Idul fitri. Hakim PA harus berhati-hati dalam menerima, memeriksa, dan menetapkan kesaksian ru’yah .
Laporan Ru’yah hilal diIndonesia dilakukan dengan sistem =
1. Peru’yah memberitahukan kepada koordinator tim pelaksana ru’yah setempat bahwa dirinya berhasil melihat hilal.
2. Koordinator pelaksan ru’yah bersama Hakim Agama memeriksa laporan pengakuan ru’yah itu, baik dari sisi formal maupun material.
3. Hakim agama mengambil sumpah kepada peru’yah bahwa dirinya benar-benar berhasil melihat hilal.
4. Naskah sumpah diminta koordinator untuk dilaporkan kepada departemen Agama Pusat sebagai bahan sidang itsbat.
Hal-hal yang dilaporkan cukup singkat saja:
a. Nama, jabatan, dan tempat pelapor
b. Hilal tampak atau tidak tampak ( sesuai kenyataan dilapangan)
c. Kalau hilal berhasil dilihat, laporkan juga berapa orang yang melihat, siapa saja namanya serta sudah disumpah oleh Hakim Agama mana, dan siapa namanya.

III. PENUTUP
Dalam kondisi dan untuk kepentingan tertentu, sumpah sangat dianjurkan dalam agama Islam dan terkait dengan sumpah bagi orang yang melihat hilal, demikian ini dimaksudkan untuk membebaskan dirinya dari kesalahan atau kekeliruan yang disadarinya, baik sengaja atau tidak. Karena Allah SWT membebaskan hambaNYA yang melakukan kesalahan ataupun kekeliruan yang tidak disadarinya. Padahal kekeliruan manusiawi yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan ru’yah sebagian besar disebabkan oleh kekeliruan yang tidak disadari oleh pelakunya sendiri. Menurut hemat penulis, hukum sumpah menjadi wajib karena dengan adanya sumpah itu, kita dapat mengetahui dan yakin akan kejujuran dan ketulusan orang yang diangkat sumpah itu dan untuk meminimalisir kesalahan. Kesaksian hilal yang lebih rendah dari kriteria bersama dapat ditolak karena dianggap meragukan dan mungkin terjadi kekeliruan mengamati obyek terang bukan hilal(misalnya planet venus).
Tampaknya, setiap laporan ru’yah al-hilal langsung diterima tanpa adanya konfirmasi benar tidaknya hilal yang teramati itu. Mungkin dasarnya hanya keimanan dan kejujuran pengamat hilal tersebut. Secara Syar’I itu sah, karena Nabi sendiri pernah menerima kesaksian seseorang dari orang yang menyatakan melihat hilal hany dengan menguji keimanannya. Tetapi pada zaman nabi mungkin semua orang faham betul tentang hilal, karena itulah satu-satunya alat penentu tanggal. Untuk saat ini, walaupun keimanan dan kejujuran dari pengamat hilal tersebut tidak diragukan, tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya. Hal ini sumpah saja belum cukup, namun diperlukan bukti ilmiah. Pengamat hilal ternyata banyak yang belum memahami apa dan bagaimana hakikatnya wujud nyata dari hilal itu, dan gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan sehingga tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya ketegasan kriteria siapa saja yang berhak diterima kesaksiaannya dan seseorang yang diberi tugas untuk melakukan penyumpahan, dalam hal ini hakim PA harus paham dan dapat membaca data hisab yang telah disiapkan oleh para ahlinya. Sehingga para hakim harus terus mengikuti perkembangan hisab ru’yah agar mempunyai wawasan luas yang sangat diperlukan daam mempertimbangkan apakah suatu laporan ru’yah bisa diterima atau tidak, karena kesalahan dalam menetapkan kesaksian ru’yah dapat berakibat fatal. Jadi, kedua belah pihak tentunya harus sama-sama memilki bekal keilmuan yang cukup mengenai ilmu hisab dan ru’yah serta adanya eksistensi dari pemerintah dalam menetapkan kriteria Imkan al-ru’yah sehingga dapat menghasilkan keputusan yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan syar’iyah.






















BIBLIOGRAFI.
Al-kohaji, Abdullah bin syaikh Al-alamah syaikh hasan , Zaad Al-muhtaj Beirut: Maktabah Ashriyah,1988 .
Alkahlani,sayid Imam muhamad bin Ismail, Subulussalam Juz II, Semarang: Toha putra,tt.
Al-jaziry,abdul Rahman, Al-fiqhu ‘Alaa fi madzaahibil Arba’ah juz 1,Mesir: Al-maktabah AlBukhoriyah Al kubro,tt,.
Al-Syuyuthi, Al-khafidz Jalaludin, Sunan Nasa’I juz IV, Beirut: Daar Al-kitab Al-Alamiyah,tt.
Al-Asqolaniy,Al-imam Al-hafidz ibnu hajar, Fathul baariy:Shahih bukhori terj. Amiruddin , Jakarta: Pustaka Azzam,2004.
Assaukani, Nailul Author Juz IV, Daar Al-fikr,tt.
Djamaluddin,thomas, Menggagas Fiqh Astronomi Bandung : Kaki langit,2005.
Deri suyatma,” Cara penentuan awal dan akhir Ramadlan” diambil dari internet website: http:// id.wordpress.com. diakses pada tanggal 2 /10/2009.
Dewan redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam vol.4 ,jakarta: Ichtiar van hoeve, 1997.
Direktorat pembinaan badan Peradilan agama Islam, Mimbar Hukum Jakarta: PT. Intermasa,1993
Hasil keputusan Musyawarah kerja Hisab Rukyah tahun 1997 / 1998 di Ciawi Bogor.
Ibn Anas , Ibn Malik,Al-muwatta’ terj. Dwi surya atmaja, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999.
Izzudin, Ahmad, Fiqh hisab ru’yah menyatukan NU& MUHAMADIYAH dalam penentuan Awal Ramadlan ,Idul fitri dan Idul Adha,Jakarta: Erlangga, 2007.
Indah Purnama sari “Kesalahan hakim dalam mengitsbat kesaksian ru’yah berakibat fatal” dalam internet “http:// www.badilag.net/www.badilag.net. Diakses pada tanggal 2/10/2009
Khazin, muhyidin, 99 tanya jawab masalah hisab ru’yat Yogyakarta: Ramadan Press,2009.
Musthafa, Abdul hamid & Faraghi, Abdul hafidz, silsilah Al-fiqhAl-Islam Alaa Madzaahibil Arba’ah jilid 3 (tt…)
Masyhur, Kahar, Terjemah Bulughul Maram Jilid II, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992.
Purnomo,Agus, Skripsi:Kontraversi antara hisab dan rukyah dalam penetapan awal ramadlan dan syawal menurut hukum Islam, Ponorogo: STAIN,1995
Qardlawi,Yusuf,Fiqh puasa (Surakarta: Era Intermedia, 2006),41.
Rusyd, Ibn , Bidayatul Mujtahid terj. M. Abdurrahman, Semarang: CV. Assyifa’, 1990.
Saurah, Abi Isa muhammad bin Isa , Sunan Tirmidzi jilid 2, Beirut: Dar al-fikr,tt.
Sabiq, Sayid, Fiqhussunnah cet. 2, Bandung: PT. Al maarif,1990.
_______ Sulamunnayrain Terj. Syafa’at,(Karanganyar :tt,2004),30.
Arwin Juli Rahmadi, Ru’yah Hilal:Spekulasi sampai probabilitas Subyektif, dalam Internet website: http://alatas.multiply.com/journal/item/2, diakses pada tanggal 23/12/2009.

3 komentar:

  1. Setiap laporan yang menyatakan berhasil merukyah hilal harus diklarifikasi terlebih dulu. Jangan sampai keputusan dalam sidang isbat berlandaskan sesuatu yang keliru. Maju terus Niha, artikel yang bagus.

    BalasHapus
  2. iya dunk om Jay,,,umat islam harus semakin pintar,,masa iya qt maw bpegang pada pengakuan yang salah untuk keputusan yang sgt signifikan menyangkut kepentingan umat.di klarifikasi dl tentunya,,,

    BalasHapus
  3. Wynn Las Vegas & Encore Resort - JTM Hub
    Jumba 과천 출장샵 casino, 서귀포 출장샵 resort & hotel information, 김제 출장마사지 resort maps, reviews. 2021 Wynn Las Vegas & Encore 성남 출장안마 Resort Rates. 파주 출장샵

    BalasHapus