Ilmu tidak untuk di Banding-bandingkan dan di kompetisikan tp Ilmu untuk dishare dan diamalkan deng

Sabtu, 13 Maret 2010

KONSEP MASLAHAH MENURUT THUFI

I. PENDAHULUAN
Syari’at Islam merupakan syari’at penutup yang datang ketika umat manusia telah sampai pada puncak kedewasaannya, dan bersifat universal yang tidak ada lagi risalah dan nubuwwah sesudahnya. Allah menyempurnakan pembinaan syari’at yang telah lalu dengan syari’at Islam ini dan Allah menjadikan Syari’at Islam ini menjadi rahmat bagi umat yang mau menerimanya. Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum adalah untuk menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat secara keseluruhan. Hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan hamba, maka kemaslahatan itu kembali pada hamba menurut ukuran syara’ dan kemaslahatan itu semua nya kembali kepada mukallaf baik didunia maupun diakhirat. Hukum Islam itu adalah hukum yang terus hidup dan terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Dia mempunyai gerak yang tetap dan prkembangan terus berjalan. Karenanya hukum Islam senantiasa berkembang dan perkembangan itu merupakan tabi’at Hukum Islam yang terus berkembang.
Syari’at yang berkembang didunia ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Yang dimaksud Maslahah itu adalah jalb Al-masalih wa dar’u al-mafasid yaitu menarik kemanfaatan dan menolak kemudlaratan. Maslahah itu ada yang dihargai dan ada pula yang ditolak oleh syara’. Hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi umat manusia, bahkan bagi segenap alam. Maka tiadalah berwujud rahmat itu terkecuali apabila hukum Islam itu benar-benar mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Tidak ada sesuatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan bagi manusia. Hukum Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan keunggulan yang menyebabkan hukum islam itu menjadi hukum yang paling kaya dan yang paling dapat memenuhi hajat masyarakat dan menjamin ketenangan serta kebahagiaan masyarakat.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan inti pensyariatan hukum Islam kiranya merupakan jawaban dari segala permasalahan yang terjadi dimasyarakat yang semakin berkembang dan membutuhkan ketegasan hukum. Makalah ini, disusun mengungkap sisi maslahah dari sudut pandang seorang pemikir hukum Islam yang dipandang tokoh paling ekstrim dimasanya, yaitu Najm Al-din Al-Thufi.

II. PEMBAHASAN
A. Definisi Maslahah
Secara etimologi, maslahah berasal dari kataصلح. Kata maslahah semakna dengan kata al-manfaah yaitu bentuk masdar ( adverb) yang berarti baik dan mengandung manfaat. Maslahah merupakan bentuk mufrad (tunggal )yang jamaknya (plural)dari al-masalih.Maslahah dalam bahasa arab disebut pula dengan خير و الصواب yaitu baik dan buruk. Maslahah disebut pula dengan اسثصلاح yang berati mencari yang baik طلب الاصلاح . Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,disebutkan bahwa maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, guna dan faedah. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan . Pengertian maslahah menurut bahasa diatas ada relevansinya dengan pengertian maslahah menurut istilah sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah ini.
Secara terminologi, definisi maslahah dikemukakan oleh ahli ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung essensi yang sama. Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah ”mengambil manfaat dan menolak kemudlaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’ . Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara diatas, maka dinamakan Maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudlaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan maslahah . Definisi maslahah menurut Thufi faktor penyebab yang mengantarkan pada maksud pembuat hukum ( Syari’)dalam masalah-masalah ibadah maupun adat kebiasaan.

B. Kehujjahan Maslahah
Para pakar hukum Islam sepakat bahwa al-qur’an merupakan dalil /sumber pokok hukum Islam. Selaku dalil hukum Islam, al-qur’an telah meletakkan dasar-dasar pokok dan prinsip-prinsip umum tentang hal ihwal hukum Islam. Salah satu diantaranya yang paling dominan adalah prinsip maslahah. Dari sekian banyak ayat al-qur’an yang menyampaikan pesan-pesan tentang penetapan hukum (tashri’)dapat diketahui betapa besar perhatian Al-qur’an terhadap prinsip maslahah, sehingga para ulama mengambil kesimpulan bahwa kemaslahatan merupakan tujuan inti / pokok penetapan hukum Islam. Adapun kehujjahan dari maslahah antara lain dapat disimak pada ayat berikut:
        
”ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Adapun kehujjahan maslahah pada prinsipnya jumhur ulama sepakat menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’ sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Hukum syar’i ditetapkan demi terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Artinya agar memberi manfaat atau mencegah kemudlaratan. Kalau suatu kasus atau persoalan sudah ada penjelasan hukumnya baik melalui nass, ijma’, atau qiyas, maka hukum itulah yang harus diambil. Karena didalam hukum itu pasti ada kemaslahatan. Tetapi jika suatu kasus tidak terdapat dalam sumber hukum yang telah disebutkan diatas, maka sepantasnya jika hukum atas peristiwa tersebut diarahkan pada kemaslahatan .

C. Macam-macam Maslahah
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum maslahah ada tiga macam :
a. Maslahah Dlaruriyah, adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah.
Contoh: Allah melarang murtad untuk memelihara agama.
b. Maslahah Hajjiyah, adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dlarury. Kemaslahatan ini jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi tidak secara langsung memang bisa menyebabkan perusakan.
Contoh: makan untuk kelangsungan hidup.
c. Maslahah Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dlarury dan tidak sampai juga pada tingkat hajjy, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
Sedangkan dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada :
i. Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
ii. Maslahah Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’. Karena bertentangan dengan ketenuan syara’.
iii. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaanya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan oleh syara’ dengan dalil yang rinci.
D. Konsep Maslahah sebelum Thufi
Jumhur fuqaha sepakat bahwa maslahat merupakan asas yang penting untuk menetapkan hukum fiqhiyah. Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan maslahah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh syari’ baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut akan penulis paparkan tentang pendapat maslahah menurut beberapa madzhab. Adapun yang menjadi perhatian utama pada pembahasan konsep maslahah sebelum Thufi adalah madzhab-madzhab tradisional, Yaitu:
• Madzhab Hanafi yang diambil dari nama Abu Hanifah Nu’man Ibn Tsabit ( W. 150 H/ 767M).
• Madzhab Maliky yang diambil dari nama Malik Ibn Anas ( W. 179H/ 795M)
• Madzhab syafi’i yang diberi nama sesuai nama Muhammad Ibn Idris Asy-syafi’i ( W. 204H/ 819M)
• Madzhab Hanbaly yang diambil dari nama Ahmad Ibn Hanbal ( W. 241H/ 855M)
Tak satupun dari keempat madzhab ini mengakui kemaslahatan manusia ( Maslahah) atau pencegahan kerugian sosial sebagai sumber hukum yang independen, selengkapnya akan penulis paparkan tentang pendapat madzhab tradisional terhadap konsep maslahah sekaligus argumentasinya.
a.) Ulama Malikiyah dan Ulama Hanabilah, adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah sebagai dalil dalam menetapkan hukum sekaligus menjadikannya sebagai metode ijtihad .
Menurut kelompok ini, maslahah berpijak pada pencarian keserasian dan sejalan dengan tujuan syari’at. Disamping kemaslahatan itu disebutkan dalam nass juga mencakup seluruh kemaslahatan meskipun tidak disebut dalam nass tetapi tetap sejalan dengan tujuan syari’at. Malik dikatakan mengakui maslahah mursalah yang berarti kepentingan-kepentingan yang tak terbatas. Artinya ia menganggap sah praktik-praktik atau transaksi yang tidak dilarang atau tidak dibahas oleh Al-qur’an, atau sunnah nabi. Dua kelompok madzhab ini membina hukum atas dasar asal maslahat baik itu tidak ada didalam nass atau ijma’ ulama dan antara dianggap maslahah atau tidak, maka ia adalah maslahah yang pantas dijadikan dasar penetapan suatu hukum . Pertanyaan lebih lanjut yang bisa diajukan terkait dengan konsep maslahah yang dijadikan sebagai kerangka dasar dalam pembinaan syari’ah adalah bagaimana cara mengukur atau mengidentifikasi bahwa sesuatu itu maslahah? karena eksistensi maslahah sebagai sumber atau metode penemuan hukum sebenarnya masih diperdebatkan. Dalam aplikasinya, mereka menyebut tiga syarat bagi tegaknya maslahah ini, yaitu:
pertama, terdapatnya persesuaian antara maslahah dengan maqasid al-syari’ah serta tidak bertentangan dengan dasar hukum yang lain. Kedua, substansi maslahah itu logis dan pasti. Ketiga, penggunaan maslahah itu bertujuan untuk menghilangkan kesempitan umat manusia dan menyangkut kepentingan orang banyak bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan . Dengan uraian ini, tampak bahwa pertimbangan dan ukuran maslahah sangat tergantung pada kemempuan dan peran akal yang dimiliki manusia.
Adapun alasan jumhur ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum adalah:
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum pasti mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan serta pembentukan hukum itu hanya berkisar atas maslahah yang diakui oleh syari’ saja maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan ummat manusia pada berbagai zaman dan tempat.
3. Hendaklah maslahah itu yang bisa dipastikan dan bersifat hakiki bukan maslahah wahmiyah( angan-angan) dan bukan rekayasa.
4. Mereka merujuk pada beberapa perbuatan para sahabat, tabi’in dan para Mujtahid. Mereka mensyariatkan beberapa hukum untuk merealisir maslahah secara umum bukan karena ada nya dukungan atau teks dalam nass.

b.) Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah, merupakan kelompok yang menolak maslahah sebagai hujjah syar’iyyah.
Asy-syafi’i adalah ahli hukum pertama yang tampaknya menolak penggunaan akal dalam masalah-masalah hukum termasuk juga perlindungan terhadap kemaslahatan manusia. Ia menegaskan bahwa satu-satunya sumber materi hukum yang dapat diterima adalah Al-qur’an dan Sunnah. Menurutnya, semua kemaslahatan hukum manusia bisa ditemukan dalam Al-qur’an dan Sunnah tanpa perlu menggunakan akal, kecuali ketika terpaksa. Syafi’i juga mengatakan bahwa tidak bisa menarik kesimpulan hukum dengan maslahah karena berarti mereka telah membuat hukum sendiri dan berarti pula mereka telah mengikuti hawa nafsu.
Adapun yang menjadi dasar penolakan kelompok ini terhadap kehujjahan maslahah adalah:
a. Maslahah itu ada yang dihargai dan ada yang ditolak oleh syar’i, maka mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-qur’an dan Sunnah.
b. Menggunakan maslahah(Mursalah) dalam penetapan hukum adalah menempuh jalan berdasarkan hawa nafsu dan hal ini seperti tidak diperbolehkan.
c. Menggunakan maslahah akan menimbulkan perbedaan hukum karena perbedaan zaman dan lingkungan serta mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum. Tentunya hal ini akan menghilangkan fungsi keumuman syari’atdan nilainya yang berlaku disetiap zaman dan tempat.
Pada dasarnya, ulama syafi’iyah juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syar’i. Tetapi Syafi’i memasukkannya dalam konsep qiyas. Begitu pula dengan ulama hanafiyah juga mengamalkan maslahah, dimana penerapannya terlihat secara luas dalam metode Istihsan yang populer dikalangan ulama Hanafiyah. Penggunaan maslahah dikalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu catatan bahwa meskipun maslahah ini tidak didukung oleh syara’ secara langsung atau tidak ,namun setidaknya maslahah itu setidaknya dekat denganprinsip pokok hukum syara’ yang sudah ditetapkan.

E. Konsep Maslahah menurut Thufi
a.) Biografi Singkat
Kata at-Thufi adalah kata sifat relatif yang berhubungan dengan kata Thawfa, nama sebuah desa di dekat Baghdad di Iraq. Jadi, Thufi adalah orang yang berasal dari Thawfa. Najm Al-Din yang berarti ”bintangnya agama”, merupakan nama panggilan atau gelar (laqab) yang diberikan kepada Thufi oleh para pemujanya. Dengan demikian jika nama populernya adalah Najm Al-Din Al-Thufi, maka nama asli atau resminya adalah Sulayman Ibn Abd Al-qwi Ibn Abd Al-Karim Ibn Sa’id. Beliau dilahirkan dikampung Thawfa sekitar 675H/ 1276M dan meninggal dunia dipalestina sekitar 716H/1316M. Beliau lahir dan terdidik sebagai seorang muslim bermadzhab Hanbali, yang para pengikutnya secara khusus terkenal karena keengganan yang kuat terhadap akal pikiran dan permusuhannya terhadap para pemikir bebas yang independen .
Berdasarkan informasi, Thufi telah membuat marah para Hakim madzhab Hanbali karena mempertahankan suatu pandangan tertentu yang tidak sama atau tidak disetujui oleh hakim dimasanya selama debat terbuka. Pada tahun 705H/ 1305M, selama tinggal diMesir,At-Thufi disiksa dan diarak-arak dijalan-jalan Kairo, dipenjarakan dan kemudian dibuang oleh para penguasa politik atas permintaan para ahli hukum tradisional, terutama hakim yang mewakili madzhab Hanbali Kairo pada masa itu yaitu Sa’ad Al-din Al-Harisi(w. 711H/1311M). Konspirasi melawan thufi oleh para ulama pada masa itu terjadi karena penghormatannya terhadap akal dipandang telah menentang legitimasi, otoritas, kebenaran atau otentisitas asumsi dasar dari madzhab hukum mereka khusunya yang berkaitan dengan Sunnah nabi. At-Thufi juga dituduh oleh para ulama pada masanya sebagai pengikut Syi’ah yang ekstrim, namun beberapa karya tulisnya menunjukkan bahwa thufi jauh dari sebagai penganut Syi’ah.
Persepsi at-thufi menenai perlindungan kemaslahatan manusia sebagai sumber atau prinsip hukum tertinggi bisa jadi dibangkitkan oleh persepsinya mengenai keburukan-keburukan dan ketidakadilan sosial yang ada dan didorong oleh penderitaan politik, hukum, yang terjadi dimasanya. Sebagaimana telah terbukti bahwa praktik-praktik hukum dan politik yang telah melumpuhkan kehidupan –kehidupan muslim, tidak mungkin dihadapi tanpa menimbulkan resiko dihukum mati atau disiksa. Sebab, legitimasi atau otoritas rezim politik dibelakangnya yang mempertahankan nya melalui kekuasaan yang diberikan para ahli hukum dimasanya sebagaimana hal inijuga bermula dari pengambilan tindakan keras terhadap kaum Khawarij dan Mu’tazilah .

b.) Konsep Maslahah dalam pandangan Thufi
Najm Al-din Al-Thufi adalah seorang ulama fiqh, dan ushul fiqh madzhab Hanbali yang dilahirkan didesa Thawfa, Shar-Shar ,Iraq. Ia adalah seorang ilmuwan yang haus tehadap berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dalam sejarah tercatat ia belajar fiqh, ushu fiqh, bahasa Arab, ilmu Mantiq, kalam, hadits, sejarah, tafsir, dan ilmu jadal (cara berdiskusi). Kebanyakan gurunya adalah ulama bermadzhab Hanbali, sehingga tidak mengherankan al-thufi dianggap sebagai penganut madzhab tersebut.
Berbekal dari ilmu yang ia kuasai, Thufi berupaya untuk mengembangkan pemikirannya dan mengajak para ulama dimasanya untuk berpegang teguh pada Al-qur’n dan sunnah secara langsung dalam mencari kebenaran tanpa terikat kepada pendapat orang lain atau madzhab fiqh manapun. Dalam rangka mencari kebenaran dan kebebasan berpikir , al-Thufi tidak saja mempelajari kitab sunni tapi juga banyak mempelajari literatur-literatur syi’ah dizamannya. Ketika itu dikotomi sunni-syi’ah sangat kuata, namun thufi tidak terpengaruh dengan dikotomi tersebut.
Diantara pemikiran Al-thufi adalah tentang maslahah yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh ketika itu. Pembahasannya tentang maslahah bertumpu pada hadits Rasulullah yang berbunyi:
لا ضرر و لاضرر في الاسلام
”tidak boleh memudlaratkan dan tidak boleh pula dimudlaratkan oleh orang lain”
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nass,adalah kemaslahatan bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nass baik oleh nass tertentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nass. Perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, kata Thufi adalah tujuan utama Islam atau sumber utama tujuannya (qutb Maqsud Al-syar’i). Thufi menegaskan perlindungan atau penegasan terhadapnya dalam masalah hukum, karenanya lebih didahulukan atas pertimbangan hukumyang lain. Artinya, ia memiliki prioritas atas seluruh sumber-sumber hukum tradisional madzhab-madzhab hukum muslim, termasuk teks Al-qur’an, sunnah maupun Ijma’ .
Dalam uraianya mengenai sumber-sumber hukum tradisional,diantara ke 19 sumber hukum ini , yang terkuat adalah teks-teks keagamaan dan ijma’ (konsensus). Jika dua sumber itu sepenuhnya sejalan dengan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, maka semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan maka perlindungan terhadap kemaslahatan tentunya menduduki prioritas diatas dua sumber tersebut. Thufi menegaskan, pemberian prioritas ini tidak dimaksudkan untuk menghentikan atau menyangkal secara total validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk menjelaskan fungsinya yang proporsional.
Menurut Najm Al-din Al-thufi, maslahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Ada empat prinsip yang dianut al-Thufi tentang maslahah yang menyebabkan pandangannya berbeda dengan jumhur ulama’, yaitu :
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (kemudlaratan), khususnya dalam bidang muamalat dan adat. Untuk menentukan sesuatu-termasuk mengenai kemaslahatan atau kemudlaratan-cukup dengan akal tanpa harus ada dukungan dari nass, atau Ijma’,baik bentuk,sifat maupun jenisnya.
2. Maslahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu maslahah tidak diperlukan dalil pendukung karena maslahah itu didasarkan pada pendapat akal semata.
3. Maslahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan. Adapun masalah ibadah atau ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’-seperti shalat dzuhur empat rakaat-tidak termasuk objek maslahah, karena masalah seperti itu merupakan hak Allah semata.
4. Maslahah merupakan dalil syara’ yang paling kuat. Oleh sebab itu, apabila nass atau ijma’ bertentangan dengan maslahah maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis(pengkhususan hukum) dan bayan(perincian/penjelasan).
Adapun sejumlah alasan bagi para pemberian prioritas pada kemaslahatan umum atas teks-teks keagamaan dan ijma’ adalah :
a.) orang yang menolak ijma’ berpegang pada kepedulian terhadap kemaslahatan yang membuat kemaslahatan berada dalam posisi yang disepakati, sedangkan ijma’ dalam posisi yang diperselisihkan. Padahal berpegang pada apa yang disepakati adalah lebih utama dari pada berpegang pada apa yang diperselisihkan.
b.) Karena teks-teks berbeda dan saling bertentangan (mukhtalifah muta’aridah), sehingga menjadi sebab perbedaan pendapat dalam penetapan hukum yang itu dicela menurut syara’. Tetapi kepedulian pada kemaslahatan merupakan masalah nyata dalam dirinya dan tidak diperselisihkan, karenanya ia lebih patut untuk diikuti.
c.) Adanya ketetapan di dalam Sunnah yang bertentangan dengan kemaslahatan umum dan sejenisnya pada beberapa kasus( terdapat kontradiksi antara hadits-hadits Nabi sendiri).
Selanjutnya Thufi menunjukkan, kemaslahatan hukum atauu kehidupan duniawi manusia diketahui olehnya melalui cara-cara alami yang diberikan oleh Tuhan kepadanya ,dengan sifat alami, dari pengalaman-pengalaman hidup manusia sendiri dan dengan tuntutan akal atau intelegensinya sendiri. Cara alami ini, merupakan metode pemahaman dan pencapaian tujuan yang paling meyakinkan manusia. Karenanya maslahah seharusnya tidak digantikan dengan metode atau sumber lain yang mungkin bisa atau tidak bisa mengantarkan kepada kemaslahatan manusia. Berkaitan dengan penekanan pada hak dan tanggung jawab manusia untuk untuk memutuskan dan membentuk kemaslahatan hukum atau kehidupan duniawi manusia yang selaras dengan tuntutan akal dan pemahamannya sendiri, Thufi mengatakan:
”Tidak boleh dikatakan bahwa hukum keagamaan lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan karenanya ia seharusnya diambil dari sumber-sumbernya . sebab, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan salah satu dari prinsip hukum agama. Ia merupakan prinsip yang paling kuat dan khas. Oleh karena itu kita harus memberikan prioritas kepadanya untuk mencapai kemaslahatan”.



C.) Relevansi Maslahah dimasa kini dan dimasa yang akan datang.
Dewasa ini, lebih-lebih dimasa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaian nya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama ( konvensional) yang digunakan oleh ulama terdahulu.
Dalam kondisi yang demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus yang secara rasional dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya, tetapi sulit menemukan dukungan hukumnya dari nass. Dalam upaya untuk mencari solusi agar seluruh tindak tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, dan maslahah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk mengeliminasi (mengurangi ) atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka dalam bera berijtihad dengan menggunakan maslahah sebaiknya dilakukan secara bersama-sama .
Dikalangan madzhab Syafi’i, istilah maslahah kurang begitu populer dan tentu saja jarang atau bahkan tidak pernah dijadikan sebagai landasan atau metode penemuan hukum. Sisi yang paling menarik untuk menelisik pertimbangan maslahah dari para pemikir tema pemikir hukum Islam adalah adanya kenyataan bahwa madzhab yang ada diIndonesia adalah madzhab syafi’i yang sebagaimana terlihat agak alergi untuk menggunakan maslahah. Pertimbangan dominan yang menjadi ukuran maslahah dari para pemikir hukum Islam di Indonesia (Hasbi, Hazairin, Munawir, Masdar, Sahal, dan Ali Yafie )adalah keadilan. Sebagaimana diketahui, keadilan telah menjadi oase kehidupan. Ia laksana ruh yang memberi nafas dan energi bagi terwujudnya sebuah kehidupan yang manusiawi dan demokratis.
Perwujudan keadilan sosial dalam Islam,misalnya adalah adanya persamaan semua manusia dihadapan hukum(equality before the law) tanpa ada klasifikasi sosial maupun gender. Adanya pengakuan hak-hak perempuan, terutama ketika Al-qur'an diturunkan sudah merupakan langkah yang maju dan diterima dengan rasa senang oleh kaum perempuan Arab ketika itu. Pengkuan Islam atas hak-hak ini merupakan kontra wacana terhadap realitas masyarakat waktu itu yang menegasikan hak-hak sosial kaum perempuan. Pembagian kewarisan (yang sebelumnya belum pernah diterima oleh kaum perempuan) lak tidak mutdirasa telah memenuhi rasa keadilan pada masyarakat empat belas abad yang lalu .
Dengan berubahnya kedudukan dan peran perempuan didalam masyarakat maka nilai dan ukuran keadilan itu turut berubah. Bagi Munawir, tindakan inovasi hukum seperti inilah implikasi dari tidak terpenuhinya rasa keadilan dan kekhawatiran tidak terciptanya kemaslahatan jika ayat 17 dari surat An-Nisa’ benar-benar diterapkan. Atas dasar ini, tema reaktualisasi ajaran agama muncul dan menawarkan model tafsir baru. Pembagian harta waris yang termuat dalam ayat tersebut dipandang oleh Munawir sebagai cara Al-qur’anmewujudkan keadilan dalam pendistribusian warisan. Oleh karena itu, jika dengan ketentuan tersebut ternyata keadilan tidak terwujud dan karenanya maslahah tidak tercapai maka manusia mempunyai wewenang untuk mengubahnya denagn menyamakan pembagian tersebut, karena ketentuan tersebut juga berdimensi sosiologis, teologis .

F. IMPLEMENTASI MASLAHAH TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN SUCI RAMADLAN
Dalam sebuah Hadits, rasul bersabda:” mulailah berpuasa karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan. Jika mendung maka sempurnakanlah hitungan menjadi 30 hari”. Pemahaman literal hadits tersebut menyiratkan keharusan melihat bulan untuk memulai puasa Ramadlan atau hari raya. Apa yang menjadi semangat sunnah dari teks hadits tersebut sebenarnya bagaimana kita menentukan awal bulan dengan cermat sehingga kita bisa berpuasa satu bulan penuh tanpa ada satu hari pun yang disia-siakan. Rasul sendiri sangat arif bijaksana menentukan cara ru’yah saat itu. Sebab ditengah-tengah kondisi masyarakat arab yang awam dan tidak bisa baca tulis saat itu hanya dengan cara itulah yang bisa ditempuh mereka untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi masyarakat Arab saat itu seandainya Rasulullah menentukan cara penetapan awal bulan diluar kemampuan mereka.
Dengan perkembangan ilmu falak dan astronomi yang cukup pesat saat ini, apa tidak selayaknya dikembangkan cara-cara lain untuk menentukan awal bulan. Sebab tidak tertutup kemungkinan menetukan awal bulan dengan hisab yang ditopang ilmu pengetahuan modern saat ini akan lebih valid dan obyektif ketimbang melihat bulan bulan dengan mata telanjang yang kadang terkesan subyektif. Sebab penentuan awal bulan dengan hisab akan meminimalisir angka perbedaan yang kadang sampai terpaut dua atau tiga bahkan empat hari antara satu tempat ke tempat yang lain . Ini merupakan contoh aplikatif yang menyisakan sebuah refleksi dan renungan bagi kita semua. Perkembangan masyarakat dan dunia IPTEK akan berimplikasi konkret pada dinamisasi maslahah yang melekat pada setiap peristiwa hukum.
Dengan berdasar pada hadits diatas, bagi madzhab ru’yah pun memberikan penafsiran yang berbeda. Secara makro hadits tersebut bersifat ta’abbudi –ghair al ma’qul al ma’na-dalam artian tidak dapat dikembangkan dan tidak dapat dirasionalkan pengertiaanya. Hanya saja, belakangan pemikiran NU sebagai madzhab ru’yah tidak sepenuhnya bersifat ta’abbudi –ghair al ma’qul al ma’na. Ini terbukti dari konsep ru’yah mereka, dimana ru’yah tidak harus dengan mata telanjang, tapi diperbolehkan menggunakan alat dan tetap dianggap syah(diterima) dengan syarat alat tersebut untuk memperjelas obyek yang dilihat (a’in al hilal) bukan pantulan . Penggunaan tehnologi ru’yah secara obyektif dijadikan sebagai pendamping untuk memperjelas obyek hilal dan bukan sebagai penentu. Tentunya pemikiran seperti ini dilandasi pertimbangan kemaslahatan untuk menghindari seminimal mungkin kesalahan melihat hilal, karena banyak kasus yang menyatakan orang sering terkecoh dengan obyek venus yang mereka mengira bahwa obyek tersebut hilal.

III. PENUTUP
Merupakan komponen yang tidak dapat diabaikan dalam kajian jurisprudensi Islam (Ilmu Ushul Fiqh) adalah maqasid Syari’ah, yaitu tujuan disyariatkannya Islam. Tujuan syari’at tidak lain adalah ddapat diterapkannya maslahah dunia dan akhirat. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam sering kita temui perubahan hukum karena ketetapan maslahah. Essensi dari maslahah itu adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang merusak. Namun demikian, kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak yang memang dibutuhkan oleh manusia.
Setelah mencermati perbedaan para ulama ushul fiqh tentang kedudukan maslahah dalam hukum Islam, maka sebetulnya antara yang menerima dan menolak sepenuhnya maslahah terdapat titik temu. Nampaknya, kelompok yang menolak lebih menekankan kehati-hatian karena ia hanya mau menerima kemaslahatan yang dikehendaki oleh syara’ dan bukan berdasar pada hawa nafsu dan tidak berarti tanpa memperhatikan persyaratan bagi kelompok yang menerima. Maslahah meruupakan salah satu dasar tasyri’ yang penting yang memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebaikan jika para ahli mampu mencermatinya secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat.











BIBLIOGRAFI

Asy-syayih, Ahmad Abd Al-rahim, Risalah Fi Ri’ayah Al-Maslahah (libanon: Daar Al-Masdariyah,1992.
Al-ghazali, Abu hamid muhammad ibnu muhammad ibnu muhammad, Al-mustasfa (tt).
Al Amiri, Abdullah M. Alhusayn, Dekonstruksi sumber hukum Islam pemikiran Najm Al-din Al –thufi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Al-khatib,Abdul karim, IJTIHAD menggerakkan potensi Dinamis Hukum Islam terj. Maimun Syamsuddin, Jakarta: Gaya Media Pratama,2005 .
Al-Khallaf,Abdul Wahab,Ilmu Ushul Fiqh terj. Halimuddin, Jakarta:PT. Rineka Cipta,2005.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris hingga emansipatoris( Yogyakarta: LkiS,2005.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu,1997.
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Ru’yah Menyatukan NU &MUHAMMADIYAH (Jakarta: Erlangga,2007 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Ru’yah Menyatukan NU &MUHAMMADIYAH ,Jakarta: Erlangga,2007
Khallaf, Abdul Wahab Kaidah-kaidah Hukum Islam terj. Noer Iskandar, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1996.
Pusat pengembangan dan pembinaan bahasa ,Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet.2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Romli, Muqaranah Madzahib fi Al-ushul ,Jakarata:Gaya Media Pratama, 1999.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Yasid,Abu, AKADEMIKA Jurnal Studi Keislaman, Surabaya: Program Pascasarjana IAIN sunan Ampel,2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar