Ilmu tidak untuk di Banding-bandingkan dan di kompetisikan tp Ilmu untuk dishare dan diamalkan deng

Jumat, 02 April 2010

Perkembangan Tafsir Klasik hingga Tafsir Modern-kontemporer

I. PENDAHULUAN
Tidak ada satupun cabang atau ranting ilmu yang tidak memiliki fungsi dan nilai. Dan tidak ada satupun ilmu yang tidak akan dibutuhkan oleh umat manusia, lebih-lebih ilmu tafsir yang dengan ilmu ini seseorang dapat memahami dan mengamalkan Al-qur’an. Ilmu tafsir merupakan kunci utama untuk bisa memahami Al-qur’an dengan baik dari segala aspeknya. Tanpa ilmu tafsir, pemahaman makna tekstualitas dan kontekstualitas Al-qur’an tidak mungkin bisa dikembangkan dan sosialisasi-publikasi pengamalan Al-qur’an tidak akan berjalan lancar. Ilmu tafsir sangat berguna bagi kaum muslimin untuk melahirkan berbagai penafsiran yang baik dan benar serta menghindarkan mereka dari kemungkinan-kemungkinan terjebak dengan penafsiran yang salah atau buruk.
Dalam konteks perkembangan tafsir, menurut Muhammad Abduh tafsir Al-qur’an seharusnya berfungsi sebagai alat penggugah kesadaran manusia agar menjadikan Al-qur’an sebagai sumber Hidayah. Dalam upaya mengembalikan Al-qur’an sebagai hudan li al-nass, mufassir kontemporer tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang ”mati” seperti yang dipahami oleh ulama tradisional, melainkan sebagai sesuatu yang ”hidup”. Al-qur’an dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejarahan umat manusia. Al-qur’an tidak diwahyukan dalam ruang dan waktu yang hampa-budaya, melainkan hadir pada zaman dan ruang yang sarat budaya.
Salah satu adagium yang menjadi jargon mufassir kontemporer bahwa al-qur’an adalah kitab suci yang shalihun li kulli zaman wa makan, Al-qur’an adalah kitab suci yang sesuai dengan segala zaman dan tempat, yang berlaku universal yang melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia. Meski adagium ini juga diakui oleh para mufassir klasik, namun pemahaman para mufassir kontemporer berbeda dengan mufassir klasik. Jika para mufassir klasik memaknai adagium itu sebagai pemaksaan makna literal kedalam berbagai konteks situasi-situasi manusia, sedangkan para mufassir kontemporer justru melihat sesuatu yang berada dibalik teks ayat-ayat al-qur’an.

II. PEMBAHASAN
A. Sejarah perkembangan Tafsir klasik hingga modern

Sesungguhnya, penafsiran Al-qur’an sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad SAW (571-632H), dam masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa yang akan mendatang. Penafsiran Al-qur’an sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu Al-qur’an, khususnya tafsir Al-qur’an. Upaya menelusuri sejarah penafsiran Al-qur’an yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam itu tentu saja bukan perkara mudah.
Secara global, sebagian ahli tafsir membagi periodisasi penafsiran Al-qur’an ke dalam tiga fase: periode mutaqaddimini (abad 1-4 H), Periode mutaakhirin(abad 4-12H), dan periode baru(abad 12-sekarang). Dalam hal ini, ahmad Izzan lebih cenderung memilah sejarah perkembangan penafsiran Al-qur’an kedalam empat periode: periode Nabi Muhammad SAW, mutaqaddimin, Mutaakhirin, dan kontemporer .
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad saw. sekaligus menjadi “jalan” hidup umat manusia (QS. Al-Baqarah: 185). Al-Qur’an juga menjadi pedoman kaum muslimin dalam menuntaskan masalah yang terjadi pada tatanan kehidupannya, baik pada saat al-Qur’an itu diturunkan maupun sekarang. Agar makna dan tujuan yang terdapat dalam al-Qur’an tersalurkan, walaupun tidak dapat sepenuhnya secara sempurna, maka perlu adanya proses penafsiran sebagai alatnya. Cukup beralasan, karena al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang disampaikan kepada manusia. Secara esensial, al-Qur’an berasal dari Tuhan, sehingga makna “original” hanya diketahui oleh Tuhan. Akan tetapi, meskipun demikian, manusia dapat menggali makna-makna tersebut dengan potensi yang dimilikinya dan dari petunjuk-petunjuk serta isyarat-isyarat atau simbol-simbol yang ada.
Proses penafsiran ini dimulai pada masa Nabi Muhammad saw., artinya proses penafsiran sudah dilakukan semenjak al-Qur’an itu diturunkan. Proses penafsiran yang terjadi pada masa Nabi, terdapat beberapa, yang didasarkan atas ketidaktahuan para sahabat. Yakni, setiap para sahabat tidak memahami suatu ayat yang telah diturunkan, sahabat langsung menanyakan kepada Nabi saw. mengenai maksud dari ayat tersebut. Bentuk penafsiran yang dilakukan Nabi saw. hanya sebatas sesuatu yang ditanyakan para sahabat. Sehingga bentuk tafsir pada masa Nabi saw. masih bersifat ijmali (global) serta belum dirumuskan metodologi tafsir secara sistematik. Periode ini berakhir bersamaan wafatya Nabi Muhammad saw .

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, penafsiran al-Qur’an dilanjutkan oleh para empat sahabat besar. Tafsir pada periode sahabat masih terisolasi penafsrian pada masa Nabi saw, yakni mengutamakan terhadap tokoh-tokoh sahabat besar. Periode sahabat melahirkan para penafsir dari golongan sahabat, diantaranya, yaitu Ibnu ‘Abbas ra. (yang memelopori madrasah al-tafsir di Makkah), Ubay bin ka’ab ra. (yang memelopori madrasah al-tafsir di Madinah), Abdullah Ibnu Mas’ud ra. (yang memelopori madrasaPerkembangan tafsir pada masa tabi’in tidak jauh berbeda dengan perkembangan pada masa sahabat. Karena tabi’in merupakan murid yang belajar dari para sahabat. Sehingga para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa sahabat, sebagai pendahulunya. Namun terdapat sedikit perbedaan dengan periode pendahulunya, yakni masa tabi’in sudah muncul sektarian aliran-aliran tafsir dan tafsir berdasarkan kawasan yang tidak terjadi atau muncul pada masa sahabat(hal. 53). Pada periode ini muncullah para mufasir terkenal, seperti Said bin Jubair, Zaid bin Aslam, Al-aswad ibnu Yazid, dan sebagainya. Tafsir pada periode Nabi samapai permulaan tabi’in merupakan kategori tafsir pertama atau qabla tadwinh al-tafsir di Kuffah), dan sebagainya .
Kemunculan aliran-aliran tafsir pada periode tabi’in ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan para mufasir itu sendiri. Berangkat dari kekhawatiran al-Qur’an akan ditafsirkan dengan semuanya sendiri, akhirnya para ulama pasca masa tabi’in mulai “menyusun” sistematika ilmu tafsir. Sehingga tafsir mulai berkembang menjadi ilmu yang memeiliki kriteria-kriteria serta syarat-syarat khusus untuk dapat menafsirkan al-Qur’an. Syarat-syarat khusus bagi para mufasir merupakan, salah satunya, tujuan agar al-Qur’an tidak ditafsirkan secara “sembarangan” tanpa adanya aturan yang membatasinya. Selain itu juga agar pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an benar-benar tersampaikan untuk kemaslahatan umat manusia, tanpa adanya kepentingan idiologi, superioritas, ataupun politik.
Pada dasarnya tafsir merupakan suatu ilmu yang sangat teknis, mulai cara membaca sampai pada memahami kandungannya. Karena al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang berbentuk tulisan biasa yang langsung diambil atau dipahami secara literal. Namun Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tentunya terdapat maksud dan tujuan tertentu dibalik teks-literal tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya proses penafsiran secara terus-menerus, agar sesuai dengan waktu dan wilayah (shalih li kulli zaman wa makan) itu “terwujud” dalam konteks saat ini (modern-kontemporer).
B. Perbandingan Metode Tafsir Klasik dan Tafsir Modern-Kontemporer

Dalam perkembangan ilmu tafsir, ada dua kelompok yang basis pijakan dan kaidah penafsirannya saling berlawanan. Kelompok yang satu berpegang pada kaidah al-ibrah bi umum lafdzi la bi khusus as sabab, sedangkan lainnya berpegang pada kaidah al-ibrah bi khusus as sabab la bi umum lafdzi. Kini, mufassir kontemporer memunculkan kaidah baru yakni al-ibrah bi maqashid al-syari’ah, sesuatu yang seharusnya menjadi pegangan adalah apa yang dikehendaki oleh syari’ah.

Bagi Muhammad Abduh, penafsiran kitab-kitab dimasanya dan masa-masa sebelumnya tidak lebih sekedar pemaparan berbagai pendapat ulama yang sangat bereda-berselisih yang akhirnya menjauh dari tujuan penurunan Al-qur’an itu sendiri. Model penfsirannya yang sangat kaku dan gersang karena penafsiran hanya mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimat dari segi I’rab, dan penjelasan lainnya yang menyangkut segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-qur’an. Ini berarti, para mufassir belum maksimal dalam menjadikan Al-qur’an sebagai hudan karena uraian penafsiran dari kandungan ayat-ayat Al-qur’an relatif sangat”dangkal” .

Pada masa kontemporer, metode penafsiran Al-qur’an yang berkembang sudah sangat beragam. Fazlur Rahman, misalnya menggagas metode tafsir kontekstual. Menurutnya, ayat-ayat Al-qur’an tidak bisa dipahami secara literal(harfiah) sebagaimana yang dipahami para mufassir klasik. Baginya, memahami Al-qur’an dengan makna harfiah tidak saja akan menjauhkan seseorang dari petunjuk yang ingin diberikan oleh Al-qur’an, tetapi juga merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat Al-qur’an. Menurut Fazlur Rahman, pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan Al-qur’an bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan harfiyah suatu ayat, melainkan nilai moral yang ada ”dibalik”ungkapan literal itu. Karena itu, ayat-ayat Al-qur’an harus lebih dipahami dalam kerangka pesan moral yang dikandungnya. Untuk mengetahui pesan moral sebuah ayat Al-qur’an Rahman memandang penting situasi dan kondisi historis yang melatarbelakangi pewahyuan ayat-ayat Al-qur’an. Situasi dan kondisi historis ini bukan hanya apa yang dikenal oleh ilmu tafsir sebagai asbabun nuzul, melainkanjauh lebih luas dari itu. Ayat-ayat Al-qur’an merupakan pernyataan moral,religius,dan sosial Tuhan untuk merespon apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ayt-ayat tersebut memiliki ”ideal moral”yang harus menjadi acuan untuk memahami ayat Al-qur’an.
Salah satu ayat Al-qur’an yang sering dikutip oleh mufassir untuk menguatkan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah Qs. An-nisa:34, An-nisa:11 dan Qs.Al-A’raf:7. Jika penafsiran klasik memperkokoh anggapan yang memposisikan kaum laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan, para mufassir feminis melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) atas ayat-ayat diatas dengan menghindari pendekatan harfiyah. Jelas sekali bahwa langkah ini menghasilkan penafsiran yang sama sekali berbeda dengan penafsiran klasik. Para mufassir feminis berpandangan bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu setara.
Diantara mufassir yang memakai model panafsiran klasik adalah Manhaj Tafsir Thabari, Ibnu Katsir dan Zamakhsari. Sedangkan yang termasuk mufassir yang memakai model penafsiran modern-kontemporer adalah Rasyid Ridla (Tafsir al-Manar), Sayyid Qutb dan Quraysh Shihab(Tafsir Mishbah).

C. Model Penafsiran Klasik Dan Modern-Kontemporer
1. Tafsir Ibnu Katsir (Model Tafsir Klasik)
a. Biografi singkat Ibnu Katsir
Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashr. Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya. Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.
b. Karya-karya Ibnu Katsir
Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.

c. Metodologi Penafsiran Ibnu Katsir
Menurut Rasyid Ridla, tafsir Ibnu Katsir ini tafsir yang paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukum serta menjauhi i’rab dan balaghah dan ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Al-qur’an. Diantara ciri khasnya ialah perhatian cukup besar terhadap apa yang mereka namakan dengan tafsir Qur’an dengan Qur’an, memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya,kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadits marfu’ yang ada relevansinya dengan ayat, atau singkatnya tafsir Ibnu Katsir ini merupakan tafsir bil ma’tsur.

2. Tafsir Mishbah (Model Tafsir Modern-Kontemporer)

Al-Mishbah merupakan tafsir Al-Qur'an lengkap 30 Juz pertama dalam 30 tahun terakhir, yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Prof Dr M Quraish Shihab. Al Mishbah adalah tafsir dengan perkembangan mutakhir dalam pendekatan terhadap Al-qur’an dibanding dengan tafsir klasik lainnya. Makna Mishbah berarti lampu pemberi terang. Al-Mishbah hadir dengan sentuhan kalimat dari penafsirnya yang tidak diragukan lagi kredibilitas ke-Ilmuan Tafsirnya. Dalam Al-Mishbah, Quraish menampilkan gaya melalui penjelasan diawali pengertian kata per kata bahasa Arab yang kaya makna. kemudian mengidentifikasi makna kata-kata Al Quran dalam pengertian lebih luas sehingga kontekstual sesuai masalah ummat saat ini. Pembaca lalu diajak menelusuri horison pemahaman ayat Al-Quran dengan mencari ayat di surat lain yang menjelaskan obyek yang sama atau malah menampilkan ayat yang kontradiktif dengan pembahasan obyek.

a. Biografi singkat
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Beliau tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang di¬datangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”.
Pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Pada tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.



b. Metodologi tafsir Quraysh shihab
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraysh shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an.

3. Tafsir Fil Zhilalil Sayyid Quthb (Model Tafsir Modern-Kontemporer)
a. Biografi Singkat
As-Syahid Sayyid Quthb dilahirkan pada tahun 1906 di Kampung Musyah, Kota Asyut, Mesir. Ia di besarkan di dlam sebuah keluarga yang menitikberatkan ajaran Islam dan mencintai Al-Qur’an. Ia telah bergelar hafizh (orang yang hapal Al-Qur’an) sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziyah Darul-Ulul. Tahun 1929, ia kulliah di Darul-’Ulum (nama sebuah Universitas Kairo, sastra Arab, dan juga tempat Hasan al-Banna belajar sebelumnya). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.
b. Karya-karya Sayyid Qutb

Di awal karier penulisannya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam Al-Qur’an: at-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (cerita Keindahan dalam Al-Qur’an) dan Musyaahidat al-Qiyamah fil-Qur’an (hari kebangkitan dalam Al-Qur’an). Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya: al-’Adaalah al-Ijtimaa’iyah fil-islam (keadilan Sosial dalam Islam), kemudian disusul Fi Zhilaalil-Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an) yang di selesaikannya di dalam penjara.
Karya-karya lainnya: as-Salaam al-’Alami wal-Islam (Perdamaian Internasional dan Islam) yang di terbitkan tahun 1951, an-Naqd al-Adabii Usuuluhu wa Maanaahijuhuu (Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan Metode-Metode), Ma’rakah al-Islaam war-Ra’simaliyah (Perbenturan Islam dan Kaptalisme) yang di ternitkan tahun 1951, Fit-Tariikh, Fikrah wa Manaahij (Teori dan Metode dalam Sejarah), al-Mustaqbal li Haadzad-Diin (Masa Depan Berada di Tangan Agama Ini), Nahw Mujtnama’ (Perwujudan Masyarakat Islam), Ma’rakatuna ma’al_yahuud (Perbenturan Kita Dengan Yahudi), al-Islam wa Musykilah al-Hadaarah (Islam dan Problem-Problem Kebudayaan) terbit tahun 1960, Hadza ad-Diin (Inilah Agama) terbit tahun 1955, dan Khashais at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatahu (Ciri dan Nilai Visi Islam) yang terbit tahun 1960.
c. Metode Penafsiran Sayyid Qutb
Diantara para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran Al-Qur`an adalah Sayyid Qutb (1906-1966), salah seorang ulama terkemuka dikalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an yang menjadi master-piece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiran sosial-kemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi Muslim sekarang. Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran Al-Qur`an.
Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam Al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang.
Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.

D. Contoh penafsiran dengan metode klasik dan modern-kontemporer
1. Tafsir tentang penciptaan perempuan (Qs. An-nisa’:1)
a. Dalam Kitab Ibnu Katsir
 ••                 •       •    
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”

Penulis dalam hal ini tidak membahas ayat diatas secara keseluruhan, namun membatasi pada pembahasan penafsiran Firmannya:من نفس واحدة yang terkait dengan tafsir penciptaan perempuan. Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita pada agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-qur’an tentang asal kejadian perempuan. Ayat Al-qur’an yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-nisa:1.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, melalui ayat 1 Qs.An-Nisa’ Allah memerintahkan makhluknya agar taqwa kepadaNYa yaitu menyembah Allah dan melalui ayat ini pula Allah mengingatkan kepada makhluknya akan kekuasaanNYA yang telah menciptakan mereka dari seorang diri yaitu Adam as. Siti Hawa diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam ketika Adam sedang tidur. Saat Adam terbangun, ia merasa kaget setelah melihatnya, lalu ia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Wanita diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita kalian."
Dalam hadits nabi disebutkan:
ان المرءة خلقت من صلع وان اعوج شئ فى الضلع اعلاه فان ذهبت تقيمه كشرته وان استمتعته بهااستمتعت بهاوفيهاعوج
“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya ,maka niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan”

Dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Katsir memberikan penafsiran terhadap awal kejadian perempuan adalah berdasar riwayat (tafsir bil ma’tsur) yang mengatakan bahwa wanita dicipta dari tulang rusuk lelaki, dan penafsiran ini dilakukan dengan mengambil makna secara harfiyah dan tekstual.

b. Dalam Tafsir Al-Misbah

Firmannya:من نفس واحدة, terkait dengan awal penciptaan perempuan Mayoritas ulama memahaminya dalam arti Adam as, dan ada juga yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Surat An-nisa ini, walaupun menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang-perorang dari segi hakikat kemanusiaan, tetapi konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembang biaknya mereka dari seorang ayah dan ibu, yaitu Adam dan Hawa. Memahami ”nafsin Wahidah ”sebagai Adam, menjadikan kata Zawjaha yang secara harfiyah bermakna pasangannya-adalah istri adam as, yaitu hawa, agaknya karena ayat itumenyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari nafsin wahidah berarti adam, maka mufassir terdahulu memahami bahwa perempuan (istri adam)adalah diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan perempuan adalah bagian dari lelaki. Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan adam itu diciptakan dari tulang rusuk adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu –tulis Qurthubi dalam tafsirnya- perempuan bersifat ’iwaja’/’awja’ atau bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan hadits Rasul yang menyatakan :” saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik pada wanita. Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan kalau engkau membiarkannya ia tetap bengkok dan bila engkau berupaya meluruskannya ia akan patah” (HR. At-Tirmidzi melalui Abu Hurairah ).

Hadits ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiyah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafore, bahkan ada yang menolak kesahihannya. Yang memahami secara metafore menyatakan bahwa hadits itu mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan cara bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok .

Ide kelahiran hawa dari tulang rusuk adam menurut Muhammad Rasyid ridha timbul dari apa yang termaktub dalam perjanjian lama(kejadian II:21-22) yang menyatakan bahwa ketika adam tertidur lelap maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. Kemudian Rasyid Ridha menambahkan ”Seandainya tidk tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam perjanjian lama niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim”.

Dalam hal ini(penciptaan perempuan) penulis berkesimpulan jika Quraysh sebagai pengarang kita tafsir misbah lebih cenderung dan sepakat dengan para penafsir kontemporer. Quraysh menambahkan bahwa pasangan adam itu diciptakan dari tulang rusuk adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita wanita selain hawa demikian juga, atau dianggap lebih rendah dibanding dengan laki-laki. Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita ,begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh sekian banyak teks keagamaan yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al-Isra’: 70. dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Tuhan telah memberikan penghormatan dan kemuliaan kepada semua anak-anak adam mencakup laki-laki dan perempuan. Pemahaman ini dipertegas oleh Qs’Al-Imran: 195” Sebagian kamu adalah sebagian yang lain”. Ini mengindikasikan bahwa sebagian kamu adalah berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki . kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaanya .
Nampaknya, Quraysh lebih memperluas penafsiran tentang penciptaan perempuan yang tidak lagi memaknai secara harfiyah saja-sebagaimana tafsir ibnu katsir dengan model klasiknya-tetapi quraysh juga menganggap bahwa asal kejadian wanita yang disebut-sebut berasal dari tulang rusuk merupakan makna metafore yang menegaskan tidak adanya perbedaan penciptaan maupun derajat kemanusiaan antara wanita dan pria, melainkan wanita memang memiliki sifat yang agak berbeda yang harus dimengerti oleh lelaki.

2. Tafsir tentang siapakah yang dimaksud dengan Ahl al-kitab(Qs.Al-Maidah :5)
a. Dalam Tafsir Ibnu Katsir
 •                                            
” Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Dalam ayat tersebut dikemukakan mengenai hukum memakan sembelihan dari ahl al-kitab dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya dari kalangan ahl al-kitab. Dalam hal ini penulis tidak membahas mengenai hal tersebut, namun terfokus pada pembahasan mengenai siapakah yang dimaksud dengan ahl al-kitab.
Dalam tafsir Ibnu Katsir telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab. Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi.

Lain halnya dengan pendapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid AlKalbi, salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambat. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai suatu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur juga sama dengan namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada keumuman makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw. yang mengatakan:
سنوا بهم سنة اهل الكتاب
”Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama perlakuan dengan ahli kitab”
Akan tetapi hadits dengan redaksi ini masih belum terbukti kekuatannya mengingat yang terdapat dalam sahih Bukhari dari Abdurrahman bin Auf sebagai berikut:”Bahwa Rasul memungut Jizyah dari kaum Majusi ditanah Hajar”. Dalam keterangan lain juga disebutkan bahwa dari keterangan itu bisa disimpulkan bahwa Ahl al-kitab itu tidak termasuk dari golongan pemeluk agama lain. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ahl al-kitab adalah dari kalangan dzimmi bukan harbiy. Dalam kitab ini juga memisahkan mengenai status antara ahl al-kitab dengan kaum Musyrikin.



b. Dalam Tafsir Al-Misbah

Dalam hal ini penulis tidak membahas ayat diatas(Qs.Al-Maidah:5) secara keseluruhan, namun membatasi pembahasan tentang siapakah yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab?. Uraian tentang hal ini paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-qur’an ketika menfsirkan ayat diatas terkait dengan uraian tentang izin memakan sembelihan ahl al-kitab dan mengawini wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang cakupan makna siapakah yang dimaksud ”Alladzina Uutu al-kitab” . Setelah para ulama sepakat bahwa paling tidak mereka adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani. Mereka kemudian berbeda pendapat apakah penganut agama itu adalah generasi masa lalu dan keturunannya saja atau termasuk para penganut kedua agama itu hingga kini? Baik yang leluhurnya telah memeluknnya atau yang baru memeluknya. Ada yang menolak menamai penganut Yahudi dan Nasrani dewasa ini sebagai ahli ktab. Kalau pendapat ini mempersempit pengertian Ahl al-kitab bahkan meniadakan wujudnya dewasa ini, maka ada lagi ulama yang memperluas maknanya, sehingga memasukkan dalam pengertian ahl al-kitab, semua penganut agama yang memili ki kitab suci hingga dewasa ini.

Imam Syafi’i memahami Ahl al-kitab sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain, bahwa nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. Pendapat Syafi’i ini berbeda dengan pendapatnya Imam abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl al-Kitab. Selain itu ada pendapat yang dianut oleh sebagian kecil ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci atau kitab samawi maka mereka juga disebut sebagai ahl al-kitab. Pendapat terakhir ini-menurut Maududi-diperluas lagi oleh para pakar mujtahid kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan hindu . Dalam hal ini Quraysh sebagai pengarang kitab Al-Misbah cenderung memahami pengertian Ahl al-kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun dan dari keturunan siapapun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan al-qur’an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu(Yahudi dan Nasrani). Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa selain orang yahudi dan nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak termasuk dalam kategori Ahl al-Kitab, tetap dapat diperlakukan sama dengan Ahl al-kitab .

Penafsiran tentang ahl al-kitab nampaknya masih menjadi perdebatan mulai dari tafsir model klasik hingga kontemporer. Namun, bisa disimpulkan bahwa kata kunci dari kategorisasi ahl al-kitab adalah umat Yahudi dan Nasrani, dan semua mufasir sepakat terhadap hal ini. Namun, belakangan mufasir modern termasuk Quraysh memberikan perluasan makna Yahudi dan Nasrani yang tidak terbatas pada keturunan atau masa tertentu. Akan tetapi bisa mencakup umat Yahudi dan Nasrani secara umum, tanpa dibatasi oleh waktu atau keturunan tertentu.

3. Tafsir tentang ayat Ulul Albab
a. Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Allah menyifati Ulul Albab, Dia Berfirman : " Yaitu orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk, dan berbaring." Dalam Shahihaian (Bukhari-Muslim) ditegaskan dari Imran bin Hishin bahwa Rasululllah SAW. Bersabda, "dirikanlah shalat sambil berdiri, jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, jika kamu tidak mampu, maka sambilberbaring." Artinya, mereka tidak henti-hentinya berdzikir dalam setiap kondisi apapun, baik dengan hati maupun lisanya. "Dan mereka merenungksn prnciptaan langit dan bumi."Yakni, mereka memahami ketetapan-ketetapan yang menunjukan kepada kebesaran Al-Khaliq, pengetahuan, hikmah, pilihan, dan rahmat-Nya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, "dua rakaat sholat yang dilakukan dengan khusyu adalah lebih baik daripada sholat sepanjang malam namun hati lalai." Apabila Ibnu Umar endak memperbaiki hatinya, maka dia mendatangi banguna lapuk, kemudian berdiri di pintunya, lalu berseru dengan suara miris-sedih, ”di manakah diriku akan kubinasakan?"
Kemudian Ibnu Umar kembali merenungkan dirinya. Lalu berkata, "segala perkara akan binasa kecuali Allah" Al hasan meriwayatkan dari Amir bin Abdul Qais, dia berkata, "saya mendengar bukan hanya dari satu, dua dan tiga orang sahabat nabi saw. Yang mengatakan bahwa cahaya atau pelita keimanan ialah tafakur. Allah ta'ala mencela bagi siap saja yang tidak mau mengambil pelajaran dari mahluk-mahluk-Nya yang menunjukan kepada sifat, zat, syariat, takdir dan tanda-tanda kebesarab-Nya. Ditegaskan bahwa Rasulullah saw. membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, tatkala beliau bangun malam untuk tahajjud. Al-Bukhary rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "aku tengah berada di rumah bibiku, yaitu Maimunah. Rasulullah saw. berbincang sejenak dengan istrinya, kemudian tidur. Ketika tiba sepertiga malam terakhir, maka beliau bangun kemudian duduk. Sambil memandang langit, beliau berkata, "sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan bagi-bai orang-orang yang beakal." Kemudian beliau bangkit , lalu berwudhu dan bersiwak. Kemudian beliau shalat 11 rakaat shingga Bilal mengumandangkan adzan. Maka beliau sholat dua rakaat. Beliau keluar dari rumah dan sholat shubuh berjamaah bersama manusia.
b. Tafsir Fil Zhilalil Sayyid Quthb
Konteks Al Qur'an disini menggambarkan secara cermat tahap-tahap gerakan jiwa yang ditumbuhkan oleh tatapan terhadap pemandangan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang di dalam perasaan ulul albab. Dan pada saat yang sama merupakan penggambaran yang sangat inpiratif, yang mengalihkan hati kepada metode yang benar dalam berinteraksi dengan alam, dalam 'berbicara' kepadanya dengan bahasanya, dalam penyesuaian dengan fitrah dan hakikatnya, dan dalam menagkap isyarat-isyaratnya. Konteks ini juga menjadikan alam yang terbuka ini sebagai kitab 'pengetahuan' bagi manusia mu'min yang bersambung dengan Allah dan dengan apa-apa yang diciptakan Allah. Menggabungkan antara perenungan tentang mahluk ciptaan Allah dan ibadah kepadanya dengan perenungan tentang penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, sehingga perenungan ini bernilai ibadah dan menjadikanya sebagai bagian dari manifestasi dzikir. Penggabungan antar kedua gerakan ini mengisyaratkan dua hakikat penting :
Pertama, bahwa perenungan tentang ciptaan Allah, tadabbur tentang kitab alam terbuka, pencermatan terhadap tangan Allah yang Maha Mencipta, ketika menggerakan alam ini membuka lembaran-lembaran kitab ini adalah merupakan ibadah yang sejati kepada Allah dan dzikir yang utama kepada-Nya. Sekiranya ilmu-ilmu kauniyah yang mempelajari penciptaan alam, hukum-hukum dan undang-undangnya, berbagai potensi dan kekayaanya, berbagai rahasia dan perbendaharaanya sekiranya ilmu-ilmu ini dipadu dengan mengingat Pencipta alam ini. Niscaya dengan ilmu-ilmu ini kehidupan akan tegak dan mengarah kepada Allah SWT. Tetapi orientasi matrealistik kafir telah memutus hubungan antara ilmu-ilmu kauniyah dan hakikat azali nan abadi. Oleh sebab itu, ilmu yang pada hakikatnya merupakan karunia Allah paling indah kepada manusia berubah menjadi laknat yang mengusir manusia dan mengubah kehidupan menjadi neraka jahim, menjadi kehidupan yang galau dan terancam, menjadi kekosongan spiritual yang memburu manusia seperti setan tiranik!
Kedua, bahwa ayat-ayat Allah di alam ini tidak akan terlihat secara jelas sesuai hakikatnya yang sarat inspirasi, kecuali oleh hati yang senantiasa berdzikir dan beribadah. Dan, bahwa orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring itu saat merenung, adalah orang-orang yang mata hati mereka terbuka untuk melihat berbagai hakikat yang besar yang terjandung dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam. Mereka adalah orang-orang yang melalui hal tersebut terhubungkan dengan Manhaj Illahi yang membawa kepada keselamatan, kebaikan dan kesholihan. Sedangkan orang-orang yang merasa cukup dengan lahiriah kehidupan dunia dan sampai kepada rahasia sebagian kekuatan alam tanpa terhubung dengan Manhaj Ilahi maka mereka adalah orang-orang yang mengahancurkan kehidupan dan diri mereka sendiri dengan rahasia-rahasia yang telah mereka capai itu, dan mengubah kehidupan mereka menjadi neraka jahim dan kecemasan yang mencekik. Akhirnya mereka mendapatkan murka dan siksa-Nya!

III. PENUTUP
Sebuah konklusi publik bahwasanya al-Qur`an merupakan suatu teks mati, yang tak kan pernah berbicara tanpa hadirnya corong mufassir sebagai jubir-nya. Al-Qur`an sebagai closed corpus tentunya juga memiliki karakteristik yang sama dengan teks lain. Kebenaran absolutnya hanya dimiliki oleh Sang Maha Absolut sebagai Dzat yang dengan segala kesendiriannya menciptakan teks suci itu, maka pemahaman manusia akan artikulasi yang tersirat dan tersurat dalam al-Qur`an hanyalah bersifat relatif dan tak kan pernah bisa dipaksakan. Dengan kesadaran hipotesis seperti ini, mulailah muncul puspa ragam penafsiran terhadap al-Qur`an yang bahkan tidak jarang bertolak belakang. Ternyata, di sisi lain metodologi dan piranti-piranti yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur`an juga variatif. Semua itu tentu saja tergantung pada kondisi biografis penafsirnya dan juga lingkungan sosio-kultural di sekitarnya.
Berdasarkan pada pemaparan contoh penafsiran dengan model klasik hingga kontemporer diatas, bisa disimpulkan bahwa tafsir mengalami perkembangan yang tentunya tidak lepas dari pengaruh latar belakang dan metode yang dipakai oleh mufassirnya. Tafsir model klasik lebih menitikberatkan pada pendekatan makna harfiyah dan berdasar pada metode tafsir bil ma’tsur dengan menyuguhkan riwayat-riwayat yang mendukung penafsirannya. Sedangkan tafsir model modern-kontemporer sudah mengalami perluasan makna, disamping menggunakan pendekatan secara harfiyah tetapi para mufassir juga sudah terpengaruh oleh setting sosial yang melingkupinya dan setidaknya penafsirannya tidak lagi tekstual tetapi bersifat kontekstual sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.

BIBLIOGRAFI
Bahreisy, Salim & Bahreisy, Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir jilid I & III, Surabaya: PT. Bina Ilmu,1987
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, tt:Tafakur,tt.
Shihab, M. Quraysh, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-qur’an vol.2 ,Jakarta: Lentera Hati,2002
Shihab, M. Qurysh ,Wawasan Al-qur’an, Jakarta: Mizan,1996
Abdul Mustaqim,Perkembangan Tafsir Al-qur’an dalam internet website: http://www.google.co.id/#hl=id&q=perkembangan+tafsir+klasik+dan+modern&start=10&sa=N&fp=5af74f93a1d43147, diakses pada tanggal 23/12/2009
_______,Tentang Ibnu Katsir dalam internet website: http://superpedia.rumahilmuindonesia.net/wiki/Tentang_Ibnu_Katsir ,diakses pada tanggal 24/12/2009.
_______,Tafsir al-Misbah, dalam internet website: http://wahyu-ululalbab.blogspot.com/2009/01/makalah-uluhttp://belibukumu.blogspot.com/2008/05/tafsir-al-mishbah.htmll-albab.htmlhttp://halaqohislami.blogspot.com/2009/11/makna-taqwa.html, diakses pada tanggal 24/12/2009.
_______, Ulul Albab dalam Tafsir klasik dan Modern,dalam internet website: http://wahyuululalbab.blogspot.com/2009/01/makalah-ulul-albab.html, diakses pada tanggal 24/12/2009.
_______,,Biografi Quraysh Shihab, dalam internet website: http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/08/biografi-quraish-shihab.html, diakses pada tanggal 24/12/2009
________,Biografi Sayyid Qutb, dalam Internet website: http://binekas.wordpress.com/2009/01/05/biografi-sayyid-quthb/ ,diakses pada tanggal 27/12/2209.
________,Corak penafsiran Sayyid Qutb, dalam internet website: http://badaigurun.blogspot.com/2009/05/corak-penafsiran-sayyid-qutb-dalam.html, diakses pada tanggal 27/12/20